Dikala Nabi Isa Mendustakan Matanya dan Membenarkan Pencuri
Ilustrasi Islami, Hijaupopuler.id, Maret 2024.
Sebuah kisah yang menunjukkan keluhuran dan keteladanan para nabi dan rasul dalam mengagungkan dan menyucikan asma Allah.
Kisah ini sederhana, namun mengandung pesan yang mendalam. Kisah ini tentang Nabi Isa ‘alaihissalam yang pernah membenarkan pengakuan seorang pencuri yang bersumpah atas nama Allah.
Kisah ini diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim dalam Shahîh masing-masing dari Abu Hurairah yang menyebutkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bercerita:
رَأَى عِيسَى ابْنُ مَرْيَمَ رَجُلًا يَسْرِقُ، فَقَالَ لَهُ: أَسَرَقْتَ؟ قَالَ: كَلَّا وَاللَّهِ الَّذِي لاَ إِلَهَ إِلَّا هُوَ، فَقَالَ عِيسَى: آمَنْتُ بِاللَّهِ، وَكَذَّبْتُ عَيْنِي
“Pada suatu ketika, Nabi Isa melihat seorang lelaki yang mencuri. Lantas oleh Nabi Isa, si pencuri ditanya, ‘Apakah engkau mencuri?’ Pencuri itu menjawab, ‘Demi Allah, Dzat yang tidak ada Tuhan selain Dia, tidak!’ Nabi Isa berkata, ‘Aku beriman kepada Allah dan mendustakan kedua mataku’.”
Dikisahkan, Nabi Isa ‘alaihissalam pernah melihat seorang maling dengan mata mata kepalanya sendiri. Namun setelah diinterogasi oleh Nabi Isa ‘alaihissalam, lelaki itu justru bersumpah dengan nama Allah bahwa dirinya tidak mencuri. Maka Nabi pun mendustakan penglihatan matanya dan membenarkan pengakuan si lelaki yang mencuri.
Dari kisah di atas dapat dipetik pelajaran dan tauladan yang sangat berharga, di antaranya:
Para nabi dan rasul tidak mengetahui perkara gaib dan tersembunyi kecuali apa yang diberitahukan Allah melalui wahyu.
Para dan rasul bukan manusia yang mampu membedakan mana orang yang jujur dan mana orang yang berdusta.
Dalam hati para nabi dan rasul tersimpan rasa haibah dan pengagungan terhadap asma Allah meskipun diucapkan oleh orang yang berbohong.
Diketahui pula bahwa pencuri itu terbebas dari tuduhan Nabi Isa ‘alaihissalam berkat sumpahnya atas nama Allah. Walau demikian, ia tidak akan terbebas dari pembalasan Allah yang Maha Melihat di akhirat.
Para nabi dan rasul tidak diutus untuk mengawasi para hamba. Hanya Allah-lah yang maha mengurus, mengawasi, dan menghitung amal perbuatan hamba-hamba-Nya.
Allah tidak menuntut para rasul-Nya untuk menjadi penguasa, hakim, penghitung, dan pembalas amal perbuatan manusia.
Kisah ini menjadi salah satu pijakan para ulama dalam menetapkan kaidah fiqih:
أَنَّ الْأَحْكَامَ يُعْمَلُ فِيهَا بِالظَّوَاهِرِ وَاللَّهُ يَتَوَلَّى السَّرَائِرَ
“Hukum itu diberjalankan terhadap perkara zhahirnya, sedangkan Allah yang menguasai hakikat tersembunyinya.”
Di mana penetapan hukum didasarkan pada bukti-bukti fisik, bukan bukti-bukti tersembunyi dan tak kasat mata walaupun yang benar adalah yang tak kasat mata itu.
Demikian kisah Nabi Isa yang disarikan dari kitab Shahih al-Qashash al-Nabawi karya Umar Sulaiman al-Asyqar (Oman: Darun Nafais, 1997, Cetakan Pertama, hal. 175). Wallahu a’lam.
Apa Reaksi Anda?