Ilusi Digital Sosial Bisnis (Sobis) dalam Perspektif Jean Baudrillard

Ilusi Digital Sosial Bisnis (Sobis) dalam Perspektif Jean Baudrillard
Ilusi Digital Sosial Bisnis (Sobis) dalam Perspektif Jean Baudrillard

Para penipu menciptakan dunia virtual yang lebih nyata daripada kenyataan. Korban awalnya tertarik, percaya, lalu terjebak.

Perspektif | hijaupopuler.id

Sobis (Sosial Bisnis), praktik penipuan online, sejatinya merupakan bentuk penyimpangan etika dalam ruang digital. Sebuah pengingkaran terhadap nilai kejujuran dan tanggung jawab sosial. Ia menjelma dalam berbagai bentuk manipulasi informasi yang nampak benar, namun terselip niat jahat.

Dalam dimensi sosiologis, Sobis ini adalah representasi dari ketimpangan sosial dan relasi kuasa yang tidak berimbang antara mereka yang melek teknologi dengan yang tidak. Atau hemat penulis dapat dikatakan sebagai hegemoni emosional pelaku terhadap korban melalui ruang digital media.

Penulis juga memaknai Sobis tidak sebatas pelaku kejahatan secara daring, namun metaforanya adalah produk dari realitas sosial yang timpang, yakni sistem nilai yang mulai luntur, life style dan ekonomi yang tumpang tindih, keterbatasan akses pendidikan (melek digital) dan sosialisasi.

Selain itu, faktor intervensi hukum terhadap pelaku dalam hal ini cyber-security, sehingga mereka para pelaku kejahatan digital ini menyasar masyarakat awam terkhusus mereka yang rentan secara hukum dan literasi digitalnya yang kurang. Atau secara psikologis dalam konteks ini, pelaku kerap kali menggunakan modus yang diframingnya sebagai bonus ataupun iming-iming hadiah.

Sobis ini juga dapat dikatakan sebagai praktik penipuan yang dilakukan secara sistematis oleh pelaku dengan medium digital yang dilakukan secara berkelompok atau tim. Dilakukan melalui penggunaan identitas palsu, hingga sampai pada akses data dari korban.

Kejahatan penipuan seperti ini telah melintasi struktur batasan prinsip moralitas dan luhuritas. Praktik ini cukup marak terjadi di wilayah Sulawesi Selatan, yang korbannya menyentuh seluruh wilayah yang ada di Indonesia.

Tak hanya meresahkan masyarakat, kejahatan siber ini juga sudah menyentuh sangat dalam ke ruang eksploitatif manusia, hingga Majelis Ulama Indonesia (MUI) resmi mengeluarkan fatwa haram mengikuti 7 poin intervensi sosial terhadap penipuan digital ini yang berkedok bisnis investasi instan.

Melansir dari detik.com/sulsel, sebelumnya pihak Kodam XIV/Hasanuddin telah menangkap 40 orang terduga Passobis (penipu digital ini) dari Kabupaten Sidenreng Rappang (Sidrap), kemudian menyerahkannya ke Polda Sulsel.

Belakangan, 37 orang di antaranya dipulangkan dengan alasan belum ada laporan resmi dari korban. Namun naasnya, dari hasil pemeriksaan 20-an smartphone yang diserap datanya, terdapat 41 korban dengan modus pelaku Sobis ini.

Dalam persepktif ini, John Baurdillard melalui teori Simulacra-nya di sosial media, merupakan sebuah skema palsu yang dilakukan para pelaku untuk menggaet para korbannya.

Mereka (pelaku) menggunakannya sebagai strategi bagaimana menciptakan ilusi (iming-iming) untuk mengendalikan persepsi, yang hemat penulis merupakan babak baru hyper-realitas untuk mengontrol dan mengendalikan psikologi korban melalui media sosial.

Dengan kata lain, para penipu menciptakan dunia virtual yang lebih nyata daripada kenyataan. Korban awalnya tertarik, percaya, lalu terjebak.

Ketika dikontekstualisasikan, teori Simulacra secara reflektif dan kritis, beberapa hal dapat dirumuskan melalui pendekatan solutif terhadap Sobis (penipuan online ini). Terutama dari aspek edukasi terkait urgensi literasi digital, dan bagaimana membangun ulang persepsi digital masyarakat. Selain itu, intervensi hukum terhadap para pelaku dan penguatan cyber-security perlu dimaksimalkan.

Muh Qayyum | Sekum PC PMII Kota Palopo, Mahasiswa Unanda Palopo

Apa Reaksi Anda?

like

dislike

love

funny

angry

sad

wow