Isbat Ru’yat: Keistimewaan Ramadhan Yang Tidak Dimiliki Bulan Lain

Ru’yat hilal bukan hanya metode teknis, tetapi juga syariat yang memiliki nilai kebersamaan, persaksian dan ketaatan. Pendekatan ini bukanlah bentuk keterbatasan, melainkan keistimewaan yang harus dijaga. Sumber ilustrasi : balitbangdiklat.kemenag.go.id
Perspektif | hijaupopuler.id
Setiap tahun, diskusi mengenai metode penetapan awal bulan Ramadhan dan Idul Fitri kembali mengemuka. Perbedaan antara hisab (perhitungan astronomi) dan ru’yat (pengamatan langsung) sering menjadi perdebatan berulang.
Ada anggapan bahwa pada masa Nabi Muhammad saw dan para sahabat metode hisab belum dikenal, sehingga mereka hanya mengandalkan ru’yat hilal. Namun, apakah benar Nabi saw dan para sahabat tidak mengetahui konsep hisab?
Nabi dan para sahabat memahami ilmu hisab
Berdasarkan berbagai sumber sejarah, umat Islam pada masa Nabi saw tidaklah asing dengan perhitungan astronomi. Bangsa Arab, terutama suku Quraisy, telah lama memiliki pengetahuan tentang pergerakan benda langit, yang digunakan untuk navigasi dan penentuan musim. Dalam Alquran, Allah swt berfirman:
“Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya, dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat orbit) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu)...” (QS Yunus : 5)
Ayat ini menunjukkan bahwa Allah swt telah menjadikan pergerakan bulan sebagai dasar perhitungan waktu. Artinya, secara prinsip, ilmu hisab bukan sesuatu yang tidak diketahui oleh kaum Muslim pada masa Nabi saw. Namun mengapa Nabi saw tetap memerintahkan umatnya untuk melakukan ru’yat dalam penentuan awal Ramadhan dan Syawal?
Isbat ru’yat sebagai keistimewaan bulan Ramadhan
Perintah untuk melakukan ru’yat hilal dalam menentukan awal Ramadhan dan Idul Fitri memiliki dimensi yang lebih dalam daripada sekadar keterbatasan ilmu pengetahuan. Nabi saw bersabda:
"Berpuasalah kalian karena melihatnya (hilal), dan berbukalah kalian karena melihatnya. Jika terhalang maka sempurnakanlah bulan menjadi tiga puluh hari." (HR Bukhari dan Muslim)
Hadis ini menunjukkan bahwa metode ru’yat bukan hanya perkara teknis, melainkan bagian dari syariat yang ditetapkan secara khusus untuk bulan Ramadhan. Berbeda dengan bulan-bulan lain, keistimewaan Ramadhan terletak pada pengalaman kolektif umat Islam dalam menyambut bulan suci dengan kebersamaan dan kepatuhan kepada syariat. Ru’yat hilal adalah manifestasi dari semangat persaksian, kebersamaan dan kepatuhan terhadap tuntunan Nabi saw.
Makna spiritual dan kebersamaan dalam ru’yat
Penentuan awal Ramadhan dan Idul Fitri bukan sekadar urusan matematis, melainkan juga ibadah yang memiliki nilai spiritual tinggi. Hisab mungkin memberikan ketepatan perhitungan, tetapi ru’yat menghadirkan kebersamaan dan ketaatan dalam menegakkan sunnah. Dalam ibadah, aspek kebersamaan memiliki nilai yang tinggi, sebagaimana ditegaskan dalam hadis lain:
"Puasa adalah pada hari kalian semua berpuasa, dan Idul Fitri adalah pada hari kalian semua berbuka." (HR Abu Dawud dan Tirmidzi)
Hadis ini menekankan pentingnya kesatuan umat dalam menjalankan ibadah. Jika penentuan awal bulan hanya bergantung pada hisab secara individual, maka akan lebih sulit mencapai kebersamaan dalam menjalankan ibadah Ramadhan.
Kesimpulan
Nabi saw dan para sahabat bukan tidak tahu tentang ilmu hisab, tetapi penetapan ru’yat sebagai metode utama dalam menentukan awal bulan Ramadhan dan Syawal adalah bagian dari keistimewaan bulan tersebut.
Ru’yat hilal bukan hanya metode teknis, tetapi juga syariat yang memiliki nilai kebersamaan, persaksian dan ketaatan. Dengan demikian, pendekatan ini bukanlah bentuk keterbatasan, melainkan keistimewaan yang harus dijaga sebagai bagian dari sunnah dan tradisi Islam.
Wallahu a’lam bish-shawab
Dr H Rukman AR Said Lc MThI
Wakil Dekan 1 Fakultas Ushuluddin, Adab dan Dakwah IAIN Palopo
Apa Reaksi Anda?






