Qurban; Menyembelih Ego, Membangun Negeri Berkeadaban

Qurban menjadi simbol bahwa dalam masyarakat yang sehat, kemuliaan tidak diukur dari kepemilikan, tetapi dari kemanfaatan. Jika ini dipegang sebagai sebuah nilai, maka dari titik inilah sebuah negeri berkeadaban sedang dibangun.
Perspektif | hijaupopuler.id
Qurban bukan sekadar ritus tahunan yang diulang saban Dzulhijjah. Qurban adalah seruan lintas zaman, sebuah panggilan jiwa untuk keluar dari pusaran kepentingan diri, menuju ruang penghambaan yang ikhlas dan pembebasan dari belenggu duniawi.
Kisah Nabi Ibrahim as dan Nabi Ismail as, terkandung pelajaran bahwa cinta sejati kepada Tuhan harus mengalahkan segala bentuk keterikatan. Ismail as bukan sekadar anak, ia adalah simbol dari sesuatu yang paling dicintai, yang harus siap dilepas ketika Tuhan memanggil.
Maka sejatinya qurban bukan tentang darah dan daging atau harta semata, melainkan juga tentang melepaskan, dan dari pelepasan itulah martabat manusia ditegakkan.
Dalam perspektif sosial, qurban menyentuh sisi paling konkret dari keadilan yakni distribusi. Menurut data BPS RI dan Kementerian Pertanian RI, tidak kurang dari 1.5 juta ekor hewan qurban disembelih setiap tahun di Indonesia, menghasilkan sekitar 45 ribu ton daging.
Sebagian besar di antaranya didistribusikan ke masyarakat menengah ke bawah yang jarang menikmati protein hewani secara layak. Ini adalah manifestasi nilai yang bermakna bahwa kebahagiaan harus dibagi, dan kemakmuran tidak boleh mengalir satu arah.
Di ranah ekonomi, qurban menciptakan siklus produktif. Permintaan meningkat di sektor peternakan, distribusi dikelola berbagai lembaga, dan keterlibatan pelaku usaha dan masyarakat nampak nyata. Jika dilihat dari sudut pandang keuangan, qurban adalah pelajaran tentang alokasi dana sarat makna.
Di tengah gaya hidup konsumtif dan orientasi profit semata, qurban menawarkan paradigma alternatif yakni investasi yang hasilnya tidak tampak di neraca laba rugi, namun dicatat dalam timbangan ukhrawi.
Namun nilai terdalam dari qurban tetaplah bersifat spiritual karena sesungguhnya yang paling utama disembelih adalah ego. Ego yang merasa lebih suci karena mampu memberi. Ego yang menjadikan sedekah sebagai pamer, bukan penghambaan. Ego yang menilai amal dari nominal, bukan dari niat dan pengorbanan, serta ego yang merasa berhak atas sesuatu yang bukan menjadi haknya. Mestinya, dalam tiap tetesan darah hewan qurban, turut luruh kesombongan, kerakusan dan keakuan.
Transformasi zaman tak mengubah ruh qurban. Meskipun kini banyak qurban dilakukan melalui platform digital dan aplikasi daring, esensinya tetap bahwa qurban adalah komitmen.
Ia adalah deklarasi iman yang diwujudkan secara nyata, yakni kesediaan untuk berbagi tanpa pamrih, yang jika tidak menjadi story medsos, maka hanya tercatat oleh aplikasi.
Qurban menjadi simbol bahwa dalam masyarakat yang sehat, kemuliaan tidak diukur dari kepemilikan, tetapi dari kemanfaatan. Jika ini dipegang sebagai sebuah nilai, maka dari titik inilah sebuah negeri berkeadaban sedang dibangun, negeri yang fondasinya adalah keikhlasan, tiangnya adalah keadilan, dan atapnya adalah pengorbanan. Negeri yang menjadikan nilai-nilai ilahiah sebagai pedoman, serta kemanusiaan sebagai ruang hidup.
Mursyid SPd MM | Dosen MBS FEBI dan Manager Keuangan P2B UIN Palopo
Apa Reaksi Anda?






