Filosofi Pangaderreng: Refleksi Budaya Bugis, Relasi Rakyat dan Pemerintah
Secara kodrati, kekuasaan—di mana pun dan kapan pun—selalu menjadi objek kritik, karena memang yang patut dikritisi adalah kekuasaan itu sendiri, bukan rakyat biasa.
Perspektif | hijaupopuler.id
Dalam sistem hukum adat pangaderreng Kerajaan Luwu, dikenal sebuah istilah penting yang disebut tuppu’ bicara. Istilah ini memiliki makna yang sepadan dengan konsep konstitusi hukum, khususnya yang termasuk dalam kategori ure’, yakni semacam pedoman dasar atau Garis-garis Besar Haluan Negara.
Salah satu prinsip utama dari unsur ini dinyatakan secara eksplisit dalam ungkapan “Raja atau pemerintah tidak memegang obor, dan rakyat tidak dipegangkan obor.”
Ungkapan ini menyimpan makna simbolik yang dalam. Istilah 'memegang obor' diartikan sebagai tindakan mengkritik. Dengan demikian, pernyataan tersebut menekankan bahwa seorang penguasa tidak pantas mengkritik atau mencari-cari kesalahan rakyatnya, apalagi sampai melakukan kriminalisasi. Sebaliknya, makna dari 'dipegangkan obor' oleh rakyat mengisyaratkan bahwa rakyat memiliki hak untuk menyampaikan kritik kepada pemerintah.
Karena pemerintah menduduki posisi tertinggi dalam struktur wari’ (tatanan sosial), maka secara alami mereka menjadi pusat perhatian rakyat dari segala penjuru. Hal ini tergambar dalam pappaseng toriolo yang berbunyi “Engkau, wahai pemerintah, berdiri di puncak sebuah gunung, dan gunung itulah yang kami kelilingi.” Ungkapan ini menggambarkan bahwa pemimpin selalu berada dalam pengawasan rakyat yang berada di bawah dan mengelilinginya dari berbagai arah.
Dengan demikian, kekuasaan pemerintah ibarat sebuah panggung terbuka yang dilihat oleh seluruh lapisan masyarakat. Tidak hanya menjadi sorotan publik, tetapi setiap ucapan sekecil apa pun dari pemerintah dapat terdengar jelas, bahkan tindakan atau sikapnya sekecil apa pun dapat tercium dan dirasakan oleh rakyat.
Dalam tradisi adat Bugis, terdapat sebuah istilah yang berfungsi sebagai fondasi sekaligus penopang utama tata adat, yaitu tuppu’. Istilah ini secara harfiah berarti 'berbenturan.' Secara konseptual, ia juga menggambarkan pertemuan dua unsur atau entitas yang bergerak dari arah berlawanan namun berada dalam satu lintasan, sehingga pada titik tertentu terjadi benturan.
Salah satu ilustrasi sederhana dari maknanya dapat dilihat pada aduan dua ekor sapi jantan (dalam Bugis disebut mattumpu’), di mana kedua hewan tersebut saling membenturkan kepala dan tanduk mereka, sambil kaki belakangnya bertumpu kuat untuk mendorong dan mencoba mengalahkan satu sama lain.
Oleh karena itu, makna mendalam dari tuppu’ dalam adat Bugis bukan semata tentang benturan atau pertentangan, tetapi justru menggambarkan pertemuan kekuatan yang saling berlawanan untuk menciptakan keseimbangan dan kekokohan, sehingga menjadi landasan utama dalam menjaga harmoni dalam kehidupan bermasyarakat.
Ketika istilah tuppu’ ini ditafsirkan dalam konteks sosial, ia mencerminkan pandangan bahwa sebuah negara terbentuk dari dua kekuatan utama yang datang dari arah berlawanan, yaitu pemerintah dan rakyat. Sementara dalam pandangan budaya Bugis, negara atau kerajaan dipahami sebagai titik temu antara dua poros ini, tempat di mana keduanya saling bertumpu dan berinteraksi.
Dengan demikian tuppu’ merepresentasikan kontrak sosial yang menjadi dasar berdirinya suatu negara, yaitu hubungan timbal balik antara raja atau pemerintah dengan rakyatnya. Tanpa rakyat, seorang raja atau pemimpin tidak memiliki legitimasi, karena gelar dan kedudukannya lahir dari pengakuan rakyat. Sebaliknya, tanpa adanya pemimpin yang terlembaga, rakyat hanyalah sekumpulan individu tanpa arah yang jelas.
Oleh karena itu, keberadaan negara atau kerajaan dalam budaya Bugis hanya mungkin terjadi bila ada keseimbangan dan pertemuan antara dua kekuatan tersebut, yakni rakyat dan pemerintah, sebagaimana semangat yang terkandung dalam makna tuppu’.
Dalam realitas masa kini, hubungan antara pemerintah dan rakyat menempatkan pemerintah sebagai sorotan utama, sebab jutaan mata rakyat terus mengamatinya. Tidak mengherankan bila kita sering menjumpai fenomena pencitraan pemerintah, yang kerap turun ke tengah masyarakat dari 'singgasana kekuasaannya' demi membangun kesan dekat dan merakyat. Tindakan semacam ini seolah menjadi kebiasaan yang dimaklumi—usaha untuk tampak sederhana dan peduli di hadapan publik.
Namun ketika pencitraan dilakukan secara berlebihan, pemerintah justru lupa akan jati dirinya sebagai pemegang kekuasaan. Ia mulai bersikap seperti rakyat biasa, memiliki hati yang mudah tersinggung, dan kehilangan ketegasan dalam memimpin. Alih-alih mengatur arah kebijakan besar negara, pemerintah terjebak dalam urusan kecil seperti mengawasi harga sayur di pasar, namun mengabaikan gejolak harga minyak yang melambung tak terkendali, bak layang-layang yang putus talinya.
Lebih dari itu, perhatian mereka justru tersita pada proyek-proyek fisik seperti pembangunan gedung dan infrastruktur, sementara kerusakan alam seperti penggundulan hutan dan gunung diabaikan. Padahal dampak dari eksploitasi alam tersebut bisa berujung pada bencana besar, seperti jebolnya bendungan atau meluapnya air dari hulu. Ironisnya, saat musibah terjadi, mereka dengan ringan menyebutnya sebagai 'ujian dari Tuhan,' seolah-olah itu bukan akibat dari kelalaian kebijakan mereka sendiri.
Demikian pula ketika kebijakan ekonomi pemerintah menuai kritik, rakyat pun menyuarakan kekecewaannya. Protes itu kerap diwujudkan dalam bentuk demonstrasi yang mengabaikan etika dan tata krama, menyuarakan kebenaran dengan cara yang justru bertentangan dengan nilai-nilai kesantunan.
Tak jarang, ekspresi protes itu diwujudkan dengan poster-poster bernada ejekan, menggambarkan wajah pemimpin menyerupai hewan sebagai bentuk sindiran tajam.
Akibatnya, makna luhur dari istilah adat Bugis tuppu’—yang mencerminkan keseimbangan dan pertemuan dua kekuatan yang saling menopang—bergeser menjadi tumpu’, yang berarti konfrontasi frontal atau saling berbenturan secara keras, seperti dua kepala yang saling menghantam tanpa ruang untuk dialog.
Seorang raja atau pemimpin yang menduduki posisi tertinggi dalam struktur kekuasaan, semestinya menyadari kemuliaan dan tanggung jawab luhur dari amanah yang ia emban. Keagungan jabatan tersebut seharusnya tertanam dalam batinnya, sehingga ia tidak mudah tersinggung oleh ucapan atau kritik dari rakyatnya.
Secara kodrati, kekuasaan—di mana pun dan kapan pun—selalu menjadi objek kritik, karena memang yang patut dikritisi adalah kekuasaan itu sendiri, bukan rakyat biasa.
Oleh sebab itu, kearifan kepemimpinan dalam tradisi kerajaan Bugis tempo dulu menegaskan bahwa seorang raja atau pemimpin tidak layak mencari-cari kesalahan rakyatnya, apalagi menjadikannya kambing hitam atas berbagai persoalan. Sebaliknya, ketidaktahuan rakyat bukanlah sesuatu yang patut disalahkan, melainkan dipahami sebagai tanggung jawab pemerintah untuk mencerdaskan dan membimbingnya.
Muhammad Akbar | Mahasiswa IAI DDI Mangkoso, Ketua I PC PMII Kabupaten Barru
Apa Reaksi Anda?






