3 Hal Penting dalam Transformasi Digital Menurut Gus Yahya
Nu.or.id
Hijaupopuler.id - Ada tiga hal yang relevan dengan operasionalisasi demokrasi di tengah-tengah kehidupan berbangsa dan bernegara saat ini. Ketiganya adalah partisipasi masyarakat, lingkaran jaringan sosial, dan relevansi ideologi.
Hal ini penting jika melihat realitas dunia digital saat ini yang sudah semakin kuat pengaruhnya dan mengarah kepada dominasi dari perihidup masyarakat.
Ketiga hal ini disampaikan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya) saat mengisi Seminar Nasional dalam rangkaian Kongres ke IX Ikatan Sosiologi Indonesia di University Club Hotel UGM Yogyakarta, Sabtu (26/8/2023).
Pertama, terkait dengan partisipasi. Menurut Gus Yahya, platform digital membuka partisipasi dengan tanpa batas. Semua orang berpartisipasi. Pengaruh dari partisipasi yang sangat terbuka itu tidak bisa diblokir, tidak terhindarkan terhadap dinamika politik, sehingga belum diketahui arahnya ke mana. Misalnya, adanya fenomena aktor-aktor politik mengerahkan buzzer untuk bermacam-macam manuver dan agenda-agenda.
Menurutnya, tidak hanya orang-orang yang dianggap kompeten tentang satu topik, tapi siapa saja bisa ikut berpartisipasi di dalam topik apa pun. "Politisi yang jadi pemegang wewenang pemerintahan dengan orang-orang di jalanan enggak ada bedanya, partisipasinya. Dan, ini nanti akan sangat mengubah dinamika politik itu sendiri," ujar kiai yang juga meminati kajian sosiologi itu.
Kedua, lingkaran jaringan sosial. Dalam hal ini, Pengasuh Pesantren Raudlatut Thalibien, Leteh, Rembang, itu melihat jika kemarin-kemarin dalam urusan politik primadonanya adalah statistik, untuk bisa melihat secara lebih dalam terhadap dinamika yang terjadi, kini sudah mulai makin populer dengan apa yang disebut sebagai social network analysis (SNA).
"Bagaimana satu lingkaran jaringan-jaringan sosial ini bisa berpengaruh terhadap pilihan-pilihan, termasuk pilihan-pilihan politik," jelasnya.
Ketiga, kemustahilan ideologi. Menurut Gus Yahya, ideologi menjadi semakin mustahil di tengah-tengah konteks realitas digital ini. Dunia menjadi tanpa batas sehingga masyarakat global mengarah kepada perwujudan satu peradaban global tunggal yang saling bercampur aduk dari semua elemen yang ada, sehingga ukurannya besar sekali.
Sedangkan nature dari ideologi itu, menurutnya, selalu membawa asumsi untuk membentuk dunia ini seperti yang dirumuskan oleh ideologi itu sendiri. "Jadi ideologi itu punya eskatologi, dan eskatologi itu pengandaian tentang dunia yang hendak diciptakan melalui ideologi itu sendiri," ungkapnya.
Alumnus Pesantren Krapyak, Yogyakarta itu mencontohkan, bahwa Karl Marx ingin mewujudkan masyarakat proletar. Begitu juga ideologi Islam ingin mewujudkan khilafah universal, dan lain sebagainya. Di tengah-tengah masyarakat global yang begini luas, menurut Gus Yahya, sudah tidak mungkin lagi orang berambisi membentuk dunia sesuai dengan keinginannya, karena begitu banyak elemen yang saling bercampur.
Karena itu, Gus Yahya menganalisa, akan semakin kurang relevan bicara tentang Pancasila sebagai ideologi negara, karena sudah tidak bisa mengandaikan, bahkan masyarakat Indonesia ini menjadi masyarakat Pancasila, karena sudah terlalu banyak variabel yang ikut berperan.
"Maka lalu kita jadikan Pancasila ini sebagai apa? Saya kira, yang paling tepat, yang lebih tepat, Pancasila ini kita jadikan sebagai landasan moral, yang memberi kita motivasi di dalam kita bergerak untuk mengupayakan kemaslahatan-kemaslahatan bagi masyarakat, termasuk dalam politik," pungkasnya.
Artikel ini ditarik dari Website NU Online
Apa Reaksi Anda?