Pemilu 2024, Politik Identitas, dan Perilaku Pemilih
Terkait Pilpres 2024 yang akan datang, Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas kembali mengingatkan betapa pentingnya untuk penelusuran rekam jejak saat menentukan calon pemimpin bangsa.
Hal itu disampaikan Gusmen dalam Tablig Akbar Idul Khotmi Nasional Thoriqoh Tijaniyah ke-231 di Pondok Pesantren Az-Zawiyah, Tanjung Anom, Garut, Jawa Barat, 3 September 2023 lalu.
Menurut Gus Men masyarakat sebaiknya tidak memilih calon pemimpin yang menggunakan agama sebagai alat politik untuk memperoleh kekuasaan. Agama seharusnya dapat melindungi kepentingan seluruh masyarakat bukan hanya kepentingan umat Islam saja.
Pernyataan Gus Men ini dikritik banyak kalangan. Gus Men dinilai membangkitkan kembali politik identitas di saat isu tersebut mulai redup saat ini. Waketum PKB Jazilul Fawaid bahkan sampai mengatakan kalau partainya akan mendisiplinkan Gus Men sebagai buntut atas pernyataannya itu. Gus Men sendiri merespons polemik ini dengan santai. Ia mengatakan bahwa imbauannya itu merupakan upaya mendorong masyarakat agar memilih secara rasional. Menurutnya tidak ada yang salah dengan imbauan agar masyarakat tidak memilih berdasar identitas. Gus Men justru merasa aneh kalau ia sampai diperkarakan akibat pernyataannya itu.
Kalau dicermati lebih jauh, pernyataan Gus Men untuk tidak memilih tokoh yang memainkan politik identitas bukanlah sesuatu yang mengada-ada. Indonesia punya pengalaman pahit selama 10 tahun terakhir di mana politik identitas menjadi modus besar dalam praktik politik nasional. Politik identitas membuat masyarakat terbelah dan berseteru hanya karena perbedaan preferensi politik. Tidak jarang perselisihan ini masuk sampai dalam lingkup keluarga dan pertemanan. Ada orang tua yang berbeda pilihan dengan anaknya sehingga hubungan mereka menjadi dingin dan renggang. Ada pula yang sudah berteman sekian lama hanya gara-gara beda dukungan politik menjadi tidak bertegur sapa.
Apa Reaksi Anda?