Sektor Jasa Tak Lagi Menjanjikan? Akankah Rakyat Hanya Jadi Penonton?

Sektor Jasa Tak Lagi Menjanjikan? Akankah Rakyat Hanya Jadi Penonton?
Sektor Jasa Tak Lagi Menjanjikan? Akankah Rakyat Hanya Jadi Penonton?

Ekonomi yang tumbuh tanpa manusia hanyalah pertunjukan kosong yang menghitung untung, tapi kehilangan makna.

Opini | hijaupopuler.id

Pagi ini, saya merenung di tengah riuhnya puja-puji atas pertumbuhan ekonomi digital. Laporan demi laporan menunjukkan angka naik, indeks membaik dan grafik menanjak. Tapi di balik deret statistik yang membanggakan itu, apakah rakyat benar-benar merasa lebih hidup?

Di Palopo, seperti pada banyak Kota lainnya, saya melihat satu pola yang menguat: sektor jasa—yang dulu menjadi sandaran banyak keluarga—mulai goyah oleh hadirnya kecerdasan buatan.

Dulu, pekerja jasa hidup dari upah yang cukup, membelanjakan uangnya di warung tetangga, menyekolahkan anak, hingga menyicil rumah atau kendaraan. Mereka adalah denyut ekonomi rakyat.

Tapi kini, pekerjaan itu satu per satu digantikan oleh mesin: AI menjawab nasabah, menyunting berita, memproses transaksi, bahkan menyapa pelanggan. Tak ada lagi senyum manusia di balik layanan, hanya skrip dan suara digital yang bekerja tanpa lelah, tanpa upah.

Saya bertanya dalam hati, ke mana perginya uang yang dulu dibelanjakan buruh jasa? Jawabannya: mengalir ke server, ke sistem, ke perusahaan besar penyedia teknologi.

Uang tidak lagi beredar dari tangan ke tangan, tapi terpusat pada korporasi, meninggalkan ruang kosong di kantong rakyat. Ketimpangan membesar bukan karena ekonomi berhenti, tapi karena manusia mulai disingkirkan dari pusat ekonomi.

Sektor jasa yang dulu menjanjikan, kini justru menjadi ruang ketidakpastian. Maka jalan satu-satunya adalah kembali mengakar. Bukan kembali ke masa lalu, tapi kembali ke ekonomi yang bermartabat.

Ekonomi yang berpijak pada produksi nyata—pertanian, industri, UMKM—yang menyerap tenaga kerja dan mendistribusikan kesejahteraan. Ekonomi yang memberi ruang bagi manusia untuk hidup, bukan sekadar bertahan.

Kita tidak anti AI. Tapi kita tidak boleh membiarkan AI menjadikan manusia hanya sebagai penonton di panggung kemajuan. Karena pada akhirnya, ekonomi bukan tentang efisiensi, tapi tentang keberlangsungan hidup manusia.

“Ekonomi yang tumbuh tanpa manusia hanyalah pertunjukan kosong yang menghitung untung, tapi kehilangan makna.”

Mari kita renungkan ini bersama, sebelum terlalu banyak tangan kehilangan pekerjaan, dan atau terlalu banyak wajah kehilangan harapan.

Adzan Noor Bakri | Dosen, Korpus Abdimas LP2M UIN Palopo

Apa Reaksi Anda?

like

dislike

love

funny

angry

sad

wow