Kartini dan Perempuan Hari Ini: Ada Luka dan Perjuangan yang Belum Usai!

Kartini dan Perempuan Hari Ini: Ada Luka dan Perjuangan yang Belum Usai!

Semangat Kartini masih terus perlu untuk dihidupkan, bukan hanya sebatas seremonial saja.

Opini | hijaupopuler.id

Setiap tanggal 21 April selalu diperingati sebagai Hari Hartini, menjadi moment untuk mengenang sosok tokoh perempuan Raden Ajeng Kartini, sosok perempuan kelahiran Jepara yang kemudian turut didaulat sebagai tokoh emansipasi perempuan. Kartini menulis tentang kebebasan, pendidikan dan harapannya terhadap masa depan perempuan.

Setiap momen ini, seringkali kita jumpai di panggung-panggung seremoni dilakukan moment peringatan hari lahirnya melalui simbol menggunakan kebaya di berbagai instansi, spanduk tertempel dimana-mana sebagai ucapan dari berbagai sumber 'Selamat hari Kartini' tertuliskan kutipan 'Habis gelap terbitlah terang.' Namun, tidak hanya sekedar nama dan gaun kebaya, kartini adalah simbol dari keberanian untuk bermimpi dan bergerak ditengah keterkungkungan. 

Dalam peringatannya, kita tidak hanya sekedar mengenang dan disibukkan dengan agenda-agenda seremonial dalam momentum untuk memperingati hari lahirnya. Namun, yang terpenting adalah kita kembali memanggil semangatnya dengan mata yang terbuka, lalu disadarkan dan terus berjalan dalam perjuangan yang telah diwariskannya mengingat perempuan hari ini ditengah segala keterbatasan masih tertulis tentang, harapan, luka dan semangat keberaniannya. 

Kekerasan terhadap perempuan yang semakin meningkat 

Data dari komnas perempuan dalam Catahu (Catatan Tahunan) 2024 menunjukkan bahwa kasus kekerasan berbasis gender terhadap perempuan (KBGtP) yang tercatat mencapai 330.097, meningkat 14.17% dari tahun sebelumnya.

Kekerasan dalam rumah tangga juga mendominasi laporan sampai juga terkait dengan kekerasan seksual diruang publik, kampus, tempat kerja, bahkan dunia digital menjadi angin yang cukup mengkhawatirkan. 

Trauma yang tinggi juga kita dapatkan dari media sosial, tiap kali membaca kisah-kisah perempuan dari tahun ke tahun terus menyimpan trauma karena pelaku adalah orang-orang terdekat mulai dari rekan kerja, guru, bahkan sampai pada tokoh-tokoh yang dipercaya dari berbagai macam profesi dan terlebih tidak jarang kita temui pelaku adalah orang tua sendiri. Sehingga tidak heran dibalik setiap angka ada tubuh yang terluka, ada jiwa yang menyimpan trauma bahkan seringkali perempuan yang menjadi korban tidak mendapatkan keadilan. 

Walaupun Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual telah disahkan, namun yang masih disayangkan adalah implementasinya yang masih penuh dengan tantangan. Seringkali kita jumpai korban masih diperhadapkan dengan kebingungan mulai dari akses layanan terhadap hukum, psikologis yang masih timpang sehingga kerap kali para perempuan dari daerah tertinggal, perempuan miskin, perempuan dengan disabilitas dan adat menghadapi hambatan yang masih terkungkung di lingkungannya.

Bahkan seringkali mereka tidak tau apa yang mereka alami, takut untuk speak up karena setiap bentuk kekerasan masih terkungkung narasi untuk menyuruh perempuan korban untuk 'sabar,' atau 'diam demi nama baik keluarga,' atau 'diam, demi nama baik lembaga,' atau 'jangan membuka aib.'

Tidak jarang yang menjadi ironisnya, ketika korban memberanikan diri tidak jarang sampai mereka diintimidasi bahkan disalahkan, sehingga inilah yang muncul menjadi bentuk lain kekerasan dimana sistem yang tidak massif untuk melindungi justru melanggengkan ketakutan. 

Perjuangan belum usai 

Perjuangan perempuan hari ini masih hidup dalam bayang-bayang simalakama antara luka dan harapan. Harapan yang dimiliki karena masih banyak disekitar kita yang turut membantu untuk saling mendukung, terus bersuara dan pantang menyerah. Perempuan bisa kuat karena kita bersama mendukung satu sama lain dan menguatkan sesama perempuan.

Namun luka yang mungkin akan terus menghantui ialah sistem yang masih belum ramah, aturan yang masih membelenggu dan sampai pada kekerasan yang terus hadir menghantua trauma yang tidak ada ujungnya. 

Terakhir, jika hari ini masih ada satu perempuan yang masih dihantui rasa takutnya, masih terjebak atau bahkan disahlahkan atas kekerasan yang menimpanya maka semangat kartini masih harus kita wujudkan melalui perjuangan sesama perempuan.

Semangat, keberanian dan solidaritas dalam harapan yang tinggi sesama perempuan harus terus dipelihara sebagai bentuk perlawanan yang dapat kita warisi dari semangat sosok Kartini.

Komunitas, organisasi dan gerakan-gerakan perempuan bahkan sampai pada inisiatif akar rumpul tidak boleh tinggal diam, harus semangat untuk menyuarakan keadilan yang harus dirasakan semua perempuan di berbagai kalangan.

Memperingati hari kartini seharusnya menjadi momen refleksi dan kritis, yang tidak hanya sekedar seremoni normatif. Momen seperti ini menjadi waktu untuk mengevaluasi sejauh mana negara dan masyarakat memenuhi mandat keadilan gender.

Perempuan Indonesia tidak hanya membutuhkan pengakuan simbolis namun yang terpenting adalah perlindungan nyata, akses keadilan yang merata serta ruang hidup dari kekerasan. 

Melihat kasus kekerasan terhadap perempuan yang terus meningkat dari masa ke masa dan juga belum optimalnya perlindungan yang terstruktur, maka jelas bahwa perjuangan yang telah diwariskan Kartini belum juga usai.

Justru di titik inilah, semangat Kartini masih terus perlu untuk dihidupkan, bukan hanya sebatas seremonial di atas panggung, tetapi yang terpenting adalah kebersamaan dan gerakan nyata dalam memperjuangkan kepentingan perempuan.

Rahmida Reski Majid | Alumni IAIN Palopo

Apa Reaksi Anda?

like

dislike

love

funny

angry

sad

wow