Ketupat Lebaran (Bagian 1 Dari 4 Tulisan Bersambung Rektor IAIN Palopo)

Ketupat Lebaran (Bagian 1 Dari 4 Tulisan Bersambung Rektor IAIN Palopo)

Penganan khas lebaran Tana Luwu; leppeleppe' harus diikat kuat. Ada makna filosofis di dalamnya. Foto: ShutterStock/Tyas Indayanti

Opini | hijaupopuler.id

Beberapa hari lagi kita merayakan idul fitri; momen yang diidentikkan dengan beberapa frasa dan atau klausa yang sesungguhnya secara syar’iy tidak terkait langsung, namun oleh budaya Indonesia menjadikannya identik dengan idul fitri; yaitu ketupat, lebaran dan maaf memaafkan.

Dari ketiga frasa dan atau klausa ini muncul istilah 'ketupat lebaran,' dan 'mohon maaf lahir dan batin.'

Segelintir orang mempersoalkan penggunaan kalimat "minal ‘aidin wa al-faizin" yang biasa ditulis bersambung “minal aidin walfaizin,” (yang seakan-akan terjemahnya) 'mohon maaf lahir dan batin.' Ada yang menganggap hal tersebut salah kaprah atau bahkan disebutnya sebagai kesalahan besar.

Asumsi tersebut dilanjutkan dengan menggugat penggunaan 'ketupat' sebagai simbol perayaan idul fitri, bahkan dianggap tasyabbuh; (walaupun ini bisa langsung dibantah: ketupat tasyabbuh kepada atau dengan siapa?

Ketupat adalah salah satu makanan tradisional nusantara yang sudah dikenal sejak ratusan tahun lalu. Bentuknya yang paling umum adalah jajaran genjang, selain itu masih ada beberapa bentuk (model) bungkusan ketupat, biasanya sesuai momen dibuatnya ketupat tersebut.

Bagi sebahagian masyarakat Indonesia, ketupat dibuat menjadi penganan pelengkap untuk acara-acara tertentu, khususnya yang terkait dengan adat-istiadat; hal ini dikecualikan bagi masyarakat Sulawesi Selatan, yang sudah menjadikannya sebagai menu sehari-hari pelengkap hidangan coto.

Ketupat diperkenalkan dan mulai populer di wilayah pulau Jawa pada masa Sunan Kalijaga (1450-1513). Sunan ini dikenal sebagai muballigh yang menyebarkan Islam dengan pendekatan budaya; beliau menggunakan beragam instrumen budaya, salah satunya adalah ketupat, untuk penggambaran nilai-nilai kehidupan, yang tidak ada kaitannya dengan agama.

Hal ini juga yang membuat ketupat menjadi simbol atau makanan khas saat lebaran, setelah diperkenalkan oleh Sunan Kalijaga. Ketupat membawa makna dan nilai filosofi kehidupan yang berhubungan dan dekat dengan makna idul fitri; bagi masyarakat Jawa, ketupat bermakna (antara lain) untuk mengakui kesalahan.

Hal ini dihubungkan dengan kata 'ketupat' yang berasal kata 'kupat.' yang bermakna 'kulo lepat, ngaku lepat,' artinya 'saya salah, mengaku salah.' Makna dari kalimat ini adalah seseorang dapat mengakui kesalahannya kalau mereka pernah berbuat salah kepada orang lain.

Ketupat dibuat (lebih tepatnya: dianyam) dari daun (janur kelapa atau pandan); anyamannya cukup rumit dan membentuk satu pola jajaran genjang yang apik; oleh pemrakarsanya di situlah digambarkan bahwa anyaman yang rumit merekatkan antara satu dengan yang lain sebagai jalinan silaturahim yang harus terbina dengan baik.

Lalu mengapa ketupat umumnya dibuat dari janur (daun kelapa muda)?

Ketika masa-masa awal diperkenalkan, digunakan janur kelapa sebagai pembungkus ketupat, karena wilayah dakwah Sunan Kalijaga adalah di pesisir utara Jawa, yang banyak tumbuh pohon kelapa, sehingga janur kelapa yang gampang didapatkan ini digunakan untuk kulit pembungkusnya.

Nilai kehidupan dari asal-usul nama dan filosofi anyamannya itulah yang kemudian dikaitkan dengan makna idul fitri. Sejak saat itulah, ketupat menjadi makanan yang diidentikkan dengan momen dan memunculkan tradisi makan ketupat saat lebaran.

**

Karena saya tumbuh dan besar di kampung yang sarat dengan nilai-kultur Bugis (Luwu?), ketika kecil kami hampir tidak mengenal kata 'ketupat,' kecuali melalui interaksi dengan saudara-saudara angkat saya dari etnik Jawa (eks transmigran).

Bagi orang-orang di kampung saya, lebaran disebut dengan malleppe' yang secara literal berarti melipat; ini sepertinya terambil dari makanan khas di kampung saya pada momen lebaran yaitu leppeleppe’ yaitu penganan yang terbuat dari beras, dibungkus janur kelapa, dilipat tiga berbentuk memanjang dengan ukuran 20-an cm, diikat dengan kuat, kemudian direbus seperti ketupat.

Leppeleppe', berbeda dengan ketupat; leppeleppe' ada opsi bahan dasarnya dari beras biasa, ketan, atau bahkan ketan hitam.

Lalu mengapa leppeleppe' harus diikat kuat?

Di situlah filosofinya, leppeleppe' harus diikat kuat, karena bila tidak kuat maka hasilnya tidak seperti yang diharapkan; demikian jalinan silaturahim harus diikat kuat dan rapi agar masyarakat tetap dalam suasana aman-damai.

Makanan leppeleppe' itulah yang saat itu (akhir 1970-an hingga awal 1990-an) identik dengan lebaran di kampung kami, Lauwo di Kabupaten Luwu Timur, termasuk di sepanjang wilayah Tana Luwu.

Apakah dengan menggugat penggunaan 'ketupat' sebagai simbol perayaan idul fitri, atau leppeleppe’ merupakan tasyabbuh? (tasyabbuh adalah tindakan menyerupai suatu komunitas atau kaum, diidentikkan dengan penyerupaan dalam konotasi yang negatif).

Terserah setiap orang melihat dan menilainya dari perspektif apa, yang jelas saya merasakan suasana silaturahim yang benar-benar kampung saat malleppe’ (momen idul fitri dengan sajian penganan leppeleppe') atau suasana keindonesiaan saat lebaran ketupat.

Selanjutnya, bagaimana 'cerita' sehingga idul fitri diidentikkan dengan lebaran?

(bersambung)

Abbas Langaji | Rektor IAIN Palopo

Apa Reaksi Anda?

like

dislike

love

funny

angry

sad

wow