'The Holy Gadget' Perlukah Redifinisi Kitab Suci?

'The Holy Gadget' Perlukah Redifinisi Kitab Suci?

...sebagaimana smartphone yang menyimpan aplikasi Alquran boleh saja dibawa masuk ke dalam toilet, dengan catatan selama berada di dalam toilet tersebut tidak membuka aplikasi Alquran. Sumber ilustrasi: liputan6.com

Kolom | hijaupopuler.id

Perkembangan teknologi dan informasi berdampak pada transformasi digital, yang merambah hampir semua aspek kehidupan manusia, termasuk aspek keberagamaan.

Lebih spesifik, kitab suci (baca: khususnya Alquran) mengalami proses digitalisasi secara masif; ada belasan versi Alquran digital. Bila dulu semua mengaji harus dengan mushaf; setidaknya membuka memori hafalan, maka sekarang cukup dengan membuka aplikasi Alquran di dalam gadget.

Puncak era digital, setidaknya untuk ukuran zaman ini, ketika Alquran sudah tersaji dalam format digital, baik audio maupun visual. Bahkan, gabungan keduanya di dalam satu perangkat sekelas smartphone.

Digitalisasi Alquran memungkinkan seseorang bisa membawa 'Quran' ke mana saja, bisa membacanya dari mana saja dan kapan saja.

Bila ingin mendengarkan bacaan Alquran di pesawat atau di mobil, tinggal setel aplikasi tanpa harus mencolok flashdisk ke sistem audio kendaraan.

(Salah satu) yang menjadi bahan diskusi untuk tidak menyebutnya permasalahan adalah 'status' perangkat digital yang memuat (teks dan atau bacaan) Alquran itu apakah disamakan status hukum dan perlakuannya dengan mushaf atau tidak?

Ketika seseorang menggenggam smartphone atau perangkat sejenis lainnya, yang ke dalamnya sudah diinstal aplikasi Alquran, maka hal tersebut (bila diqiyaskan) saat itu mereka sedang memegang mushaf.

Apakah dengan terinstalasinya aplikasi Alquran dalam beragam formatnya tersebut, mengangkat status smartphone menjadi ikut suci sebagaimana layaknya mushaf Alquran? Meminjam istilah Prof Hamdan Juhannis: 'HP suci.'

Bila smartphone (di)suci(kan), maka sejatinya aplikasi di dalamnya harus tunggal, atau setidaknya tidak bercampur dengan aplikasi lain yang bisa mencemari kesucian Alquran tersebut.

Karena statusnya yang 'suci' itu, maka perlakuan terhadap smartphone pun harus istimewa. Seistimewa perlakuan terhadap mushaf Alquran; mulai dari cara memegang/membawanya, membukanya harus (baca: lebih afdhal dengan) wudhu.

Karenanya smartphone yang sudah 'naik kelas' tersebut hanya boleh dibuka di tempat yang wajar. Ditempatkan dalam posisi lebih tinggi dari sekadar smartphone biasa (dikantongi pada kantong kemeja pakaian bagian atas, bukan di kantong samping, apalagi kantong celana bagian belakang).

Bila status smartphone yang 'naik kelas' tersebut menjadi suci karena di dalamnya ada aplikasi Alquran, sehingga harus diperlakukan layaknya mushaf, maka "Bagaimana dengan (isi kepala) seorang hafidz (penghafal) Alquran, yang di dalamnya ada Quran?"

Apakah harus diperlakukan layaknya mushaf dan smartphone yang 'suci;' tidak boleh dibawa (baca: diikutkan) ke tempat yang tidak suci, misalnya toilet.

Adalah tidak mungkin melarang seseorang, khususnya hafidz masuk ke toilet karena alasan di memori kepalanya ada ayat-ayat suci Alquran.

Ia tetap boleh masuk toilet dengan tidak mendaras hafalannya, sebagaimana smartphone yang menyimpan aplikasi Alquran boleh saja dibawa masuk ke dalam toilet, dengan catatan selama berada di dalam toilet tersebut tidak membuka aplikasi Alquran.

Apakah ada sikap konsisten dalam memaknai kesucian kitab suci? Atau terbersik di pikiran kita bahwa Alquran digital berbeda derajat kesuciannya dengan Alquran yang ada di kitab?

Di sini perlu redefenisi tentang kesucian Alquran. Defenisi yang bisa menjelaskan sekaligus membedakan kesucian Alquran itu pada wujudnya atau pada obyek yang dipersepsikan. Sebuah defenisi yang memberi ruang 'orang lain' untuk bisa membuka lembaran mushafnya tanpa syarat wajib bersyahadat terlebih dahulu.

Abbas Langaji | Rektor IAIN Palopo

Apa Reaksi Anda?

like

dislike

love

funny

angry

sad

wow