Perlawanan Ekologis Kolonialisme Gaya Baru di Tanah Papua, Aktivis Setempat Angkat Suara
Terkait tulisan ini, dalam perpektif yang lain, Kementerian Agama RI tengah menggenjot aktualisasi program ekoteologis, yakni konsep keberimbangan pelestarian alam sekitar. Nampak foto dari Greenpeace yang menampilkan salah satu aktivitas pertambangan di Kabupaten Raja Ampat.
Perspektif | hijaupopuler.id
Di balik lanskap indah Raja Ampat yang dikenal dunia sebagai surga biodiversitas laut, tersembunyi kisah pilu tentang perampasan ruang hidup yang kian mengancam. Masuknya industri tambang ke kawasan ini bukanlah sekadar investasi, melainkan bentuk kolonialisme baru yang dibungkus dengan jargon pembangunan dan legalitas semu.
Adrianto, aktivis asal Papua yang kini berkiprah di Kota Palopo, mengecam keras keberadaan tambang di Raja Ampat. Ia menilai eksploitasi sumber daya alam di tanah kelahirannya sebagai bagian dari pola kapitalistik yang secara sistematis menghancurkan ruang hidup rakyat Papua.
“Ini bukan soal tambang saja, ini soal bagaimana negara dan modal bersatu merampas tanah dan laut yang diwariskan turun-temurun kepada masyarakat adat. Kita sedang menyaksikan kolonialisme gaya baru, di mana alat berat menggantikan senjata, dan hukum dipakai untuk membenarkan ketidakadilan,” tegas Adrianto.
Masuknya pertambangan ke Raja Ampat dimulai sejak awal 2000-an ketika pemerintah daerah dan pusat mulai mengeluarkan izin usaha pertambangan (IUP) kepada sejumlah perusahaan.
Ironisnya, banyak dari izin tersebut dikeluarkan tanpa konsultasi mendalam dengan masyarakat adat, dan bahkan di atas kawasan yang secara ekologis dan hukum seharusnya dilindungi.
Perusahaan-perusahaan ini, dengan restu birokrasi negara, masuk membawa janji kemakmuran. Namun yang ditinggalkan justru konflik agraria, kerusakan lingkungan dan kehancuran tatanan sosial.
Kehadiran tambang di Raja Ampat membawa dampak ekologis yang destruktif. Ekosistem pesisir dan laut terutama hutan mangrove dan terumbu karang mengalami degradasi signifikan akibat aktivitas eksplorasi dan eksploitasi. Sedimentasi dari tambang mencemari laut, menghancurkan biota laut, serta mengganggu mata pencaharian nelayan lokal.
Tak hanya itu, struktur sosial masyarakat adat yang selama ini hidup kolektif mulai terpecah. Logika pasar dan uang menembus kehidupan kampung, menimbulkan konflik horizontal dan memicu disintegrasi nilai-nilai solidaritas.
“Kapitalisme tidak datang hanya membawa alat berat, tapi juga budaya pecah belah. Di banyak tempat, rakyat dipaksa memilih antara kemiskinan atau kerusakan. Padahal keduanya adalah jebakan sistemik dari model pembangunan eksploitatif,” ujar Adrianto.
Kajian sejumlah lembaga lingkungan seperti WALHI dan JATAM menunjukkan adanya pelanggaran hukum dalam proses perizinan. Beberapa izin pertambangan dikeluarkan di kawasan konservasi yang seharusnya dilindungi menurut UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir, serta UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Namun alih-alih dicabut, izin-izin ini dibiarkan, bahkan diperkuat dengan regulasi tambahan. Negara justru hadir sebagai fasilitator kepentingan korporasi, bukan pelindung rakyat.
“Saat hukum dijadikan alat untuk melanggengkan pengisapan, maka rakyat punya legitimasi moral untuk melawan. Perlawanan ekologis bukan hanya perjuangan lingkungan, tapi juga perjuangan kelas melawan sistem yang menindas,” tegas Adrianto lagi.
Adrianto menyerukan kepada seluruh masyarakat, terutama generasi muda dan kaum terdidik, untuk tidak diam. Menurutnya, diam adalah bentuk persetujuan terhadap penjajahan yang terus berlangsung dengan wajah baru.
“Apa yang terjadi di Raja Ampat hari ini akan terjadi di tempat lain besok. Jika kita tidak berdiri bersama rakyat Papua hari ini, maka kita sedang membiarkan sistem ini menghancurkan semua yang kita warisi sebagai bangsa,” tutupnya.
Apa Reaksi Anda?






