Tumbal Darah Pembaruan Islam di Aceh

Tumbal Darah Pembaruan Islam di Aceh

Al-Raniri tinggal di Aceh selama tujuh tahun (1637-1644), menjadi seorang alim, mufti, dan penulis produktif yang menentang doktrin wujudiyah (Ilustrasi: arina.id / Aceng Darta)

Aktor pembaruan Islam di nusantara, dipelopori oleh kalangan sufi. Ini dilihat jika mengacu pada tesis utama yang dikemukakan oleh Azyumardi Azra melalui buku Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad 17 dan 18, terbit pertama tahun 1994.

Pendapat ini sebenarnya tidaklah terlalu baru. Jauh sebelum itu, adalah Anthony H. John, tahun 1961, yang berpendapat bahwa agen islamisasi nusantara yang paling berjasa adalah kaum sufi, di mana hampir semua daerah yang pertama memeluk Islam bersedia menukar kepercayaan asalnya lantaran tertarik oleh ajaran tasawuf.

Di tahap berikutnya, Azyumardi Azra kemudian menganalisa dengan cermat, kalau pengaruh kaum sufi itu bukan sufi biasa, tapi apa yang disebutnya sebagai “neo-sufisme”. Istilah neo-sufisme ini jelas pengaruh konstruksi Fazlur Rahman, dalam buku Islam (1979).Di sini, Fazlur Rahman maupun Azyumardi Azra sebenarnya dalam satu tarikan nafas, yang oleh banyak kalangan diberi gelar tokoh modernis atau neo-modernisme.

Neo-sufisme, sebagaimana dijelaskan oleh Fazlur Rahman, dan diafirmasi oleh Azyumardi Azra, adalah tasawuf yang diperbarui, melucuti ciri dan kandungan ekstatik dan metafisiknya, dan digantikan dengan kandungan yang tidak lain dari dalil-dalil ortodoksi Islam. Tasawuf model ini menekankan dan memperbarui faktor moral dan kontrol diri yang puritan dalam tasawuf yang mengorbankan ciri-ciri berlebihan dari tasawuf yang menyimpang (unorthodox sufism). Pusat perhatian neo-sufisme adalah rekonstruksi sosio-moral dari masyarakat muslim. Ini berbeda dengan tasawuf sebelumnya, yang terutama menekankan individu dan bukan masyarakat. Next>

Baca artikel selengkapnya di sini ARINA.ID

Apa Reaksi Anda?

like

dislike

love

funny

angry

sad

wow