Idul Fitri: Momen 'Salim'

Di dalam salim ada dua hal yang disatukan, yakni menjabat tangan dan menunjukkan sikap hormat.
Opini | hijaupopuler.id
Dalam kehidupan sehari-hari, bila bertemu dengan seseorang, biasanya ada dua hal yang kita lakukan; mengucapkan salam dan berjabat tangan.
Dalam bahasa Arab, berjabat tangan disebut dengan mushâfahah; kata ini mengandung makna yang dalam dan filosofis, bukan saja dalam pengertian fisik berjabat tangan dengan membuka masing-masing telapak tangan kanan hingga saling bergenggaman, namun lebih dari itu dia bermakna membuka hati dan berlapang dada untuk memaafkan orang lain.
Di negara kita, dalam penggunaan sehari-hari, berjabat tangan 'biasa' digunakan kata bersalaman, atau bersalam-salaman; sehingga bila seseorang menjabat tangan seseorang, bisa disebut dengan 'menyalami.'
Penggunaan kata yang asalnya bermakna 'saling mengucapkan salam (do’a keselamatan),' sehingga bersalaman dipahami saling berjabat tangan.
Dengan demikian, terjadi pergeseran makna dari mengucapkan (doa) keselamatan satu dengan yang lain, menjadi berjabat tangan.
Dalam proses pembudayaan mengucapkan salam itulah, maka sejak kecil diajarkan kepada kanak-kanak, dan diperkenalanlah kosa kata yang sesungguhnya baru, yaitu 'salim.'
Salim bagi kanak-kanak dipahami dan dipraktikkan sebagai sikap hormat kepada seseorang dengan meraih tangan kanannya dan menciumnya.
Kenapa menggunakan kata salim tersebut?
Saya tidak mengerti bagaimana asal-usulnya, saya hanya menduga dari kata salâman; tapi kata ini dalam bahasa Arab artinya bukan berjabat tangan, melainkan 'ucapan selamat' atau 'mengucapkan salam.'
Kemungkinan lain, dari kata salim yang dianggap fi’il amar (bentuk kalimat perintah yang bermakna 'ucapkanlah salam,' kemudian agar lebih 'ringan' di lidah kanak-kanak, huruf i yang double (tasydîd) dijadikan tunggal saja.
Dalam proses salim tersebut sesungguhnya ada dua hal yang disatukan, yaitu menjabat tangan dan menunjukkan sikap hormat kepada yang lebih tua; boleh jadi dicari kalimat yang sederhana untuk menyebut proses itu, maka diambillah kata yang mudah diucapkan oleh kanak-kakak, yaitu salim, yang sejatinya merupakan 'pelesetan' dari salâman.
Seiring perubahan zaman dan dinamika perdaban manusia, cara salim mengalami pergeseran; bila sejak kanak-kanak salim dipraktikkan dengan mencium tangan orang yang dijabat, maka ada kecenderungan salim tersebut 'meningkat;' yang dicium bukan lagi tangan orang yang dijabat, melainkan meraih tangan orang yang dijabat tersebut kemudian ditempelkan di pipi (layaknya membaringkan kepala di tangan yang sedang dijabat tersebut), dan semakin meningkat dengan menempelkan tangan orang yang dijabat tersebut di jidat)!
Saya coba cari dasar normatif dan atau asal-usulnya, namun saya belum menemukan, boleh jadi hanya semacam latah (ikut-ikutan) yang menjadi tren.
Ada yang menyebut praktik mengubah cium tangan dengan menempelkannya di pipi umumnya dilakukan oleh anak-anak yang masih ABG (atau yang merasa masih ABG), sebagai ekspresi sikap manja.
Entahlah, atau boleh jadi ada aspek traumatic; seperti yang dialami oleh anak salah seorang teman, ketika bersalaman dan mencium tangan seorang rekan se-profesinya, mencium aroma (maaf!) ikan, atau aroma kurang sedap lainnya, maka agar tidak terulang ke sekian kalinya, maka lebih baik tangan tersebut ditempelkan di pipi atau di jidat.
Ataukah ada sebab spesifik lainnya yang belum terungkap.
Abbas Langaji | Rektor IAIN Palopo
Apa Reaksi Anda?






