Abu Rokhmad: Resolusi Pasca Idulfitri
Abu Rokhmad (Staf Ahli Menteri Agama/Plt. Dirjen Pendis Kemenag RI)
Kolom, Hijaupopuler.id
Kata resolusi lebih sering diucapkan kebanyakan orang saat pergantian tahun baru. Jarang sekali diungkapkan saat memuliakan hari-hari besar keagamaan, seperti perayaan Idulfitri 1445 H. Padahal, Idulfitri merupakan momentum teologis yang sangat tepat dijadikan sebagai ancangan untuk melakukan perubahan setahun ke depan.
Resolusi bisa terjadi dalam berbagai bentuk, khususnya tranformasi spiritual-personal. Transformasi jenis ini bukan hanya berdampak pada pengayaan mental-individual semata, tetapi juga—diharapkan dapat—berimbas pada penguatan transformasi sosial-kebangsaan yang menyeluruh.
Secara bahasa, resolusi (resolution) berarti keputusan, pemecahan, ketetapan, atau keteguhan hati. Resolusi yang dimaksud tidak jauh maknanya dari pengertian leksikal di atas dengan modifikasi tertentu. Yakni, ketetapan atau keteguhan hati untuk melakukan perbaikan diri (karier, keluarga, kuliah, target, pencapaian) agar lebih baik di tahun depan. Dengan bahasa gaul, resolusi merupakan niatan untuk berubah untuk menjadi lebih hebat, setelah dididik selama Ramadan dan diwisuda saat Idulfitri.
Puasa sejatinya ibadah klasik yang pernah diamalkan para rasul dan nabi sebelumnya. Pesan seperti itulah yang terdapat dalam QS, 2:183. Waktu itu dan hingga hari ini, puasa merupakan amalan berat yang harus dijalani. Terkadang bulan puasa jatuh pada musim yang sangat panas atau sangat dingin. Terkadang, waktu siang hari bisa lebih panjang daripada malam harinya.
Karena beratnya, saat itu, tokoh-tokoh agama mereka merasa tidak tega melihat keadaan tersebut. Lalu mereka mengubah puasa dengan jumlah hari disesuaikan dengan kemampuan atau kesukaan umatnya. Begitu pula dengan tata cara berpuasa.
Salah satu hikmah disebutkannya umat masa lalu yang juga berpuasa adalah agar berpuasa terasa ringan. Sesuatu yang berat jika dikerjakan secara bersama-sama oleh banyak orang akan terasa mudah melakukannya (al-syai’ al-syaqq idza ‘amma sahula ‘amaluhu) (al-Harari, hadaiq al-ruh wa al-raihan: 150-1).
Jalan Takwa
Idulfitri bukanlah hari besar Islam biasa. Ia merupakan penanda ibadah kolosal umat Islam setelah menunaikan ibadah puasa. Yang bersuka cita dengan hadirnya Idulfitri melintasi sekat agama dan keyakinan. Gelombang mudik dan silaturahmi ke kampung halaman begitu besar hingga sulit dideskripsikan dengan kata.
Secara bahasa, Idulfitri berarti kembali kepada fitrah, yakni keadaan seperti bayi yang baru lahir (ka yaumin waladathu ummuhu). Bersih dan suci tanpa dosa. Dalam hadits disebutkan, umat Islam yang melakukan puasa Ramadan, lalu merayakan Idulfitri, Allah Swt meminta kepada para malaikat untuk menjadi saksi bahwa Allah Swt telah mengampuni (dosa-dosa) mereka (Durratun Nasihin: 276).
Berpuasa di bulan Ramadan merupakan pra-syarat menjadi bersih dan suci saat lebaran. Selama berpuasa, umat Islam dilatih menahan (al-imsak) hawa nafsu, bukan hanya dari makan, minum, hubungan suami-isteri di siang hari. Lebih dari itu, umat Islam ditempa dengan laku mulia lainnya, seperti mengendalikan tutur kata dan perbuatan serta hatinya dari berbagai gejolak nafsu hewaniah. Selama sebulan digodok dengan laku agung ini diharapkan dapat meningkatkan kualitas diri pelakunya pasca Idulfitri.
Sejak awal pensyariatannya, Allah Swt menetapkan target tinggi bagi orang yang berpuasa. Di ujung perintah puasa sebagaimana tercantum dalam QS, 2: 183, Allah Swt menyematkan kata la’allakum taqqun. Kata ini biasa diterjemahkan dengan “supaya kalian/ agar kamu bertakwa” (you may become righteous).
Secara bahasa, kata la’alla sering muncul dalam Al-Qur’an. Menurut Ibn Mandhur, ada tiga makna kata la’alla yaitu pengharapan (raja’), keinginan (thama’) dan keraguan (syakk). Makna lain berarti kekhawatiran (al-isyfaq), Menurut Ibn Atsir, jika kata la’alla berasal dari Allah Swt—sebagaimana dalam QS, 2: 183)—maka itu merupakan jaminan kepastian (tahqiq) dari Allah Swt. Menjadi orang yang bertakwa (tattaqun) merupakan target yang ditetapkan Allah Swt, apapun makna kata la’alla yang diletakkan sebelumnya.
Takwa merupakan kualitas diri yang ‘diharapkan/ diusahakan/ dipastikan’ tersemat pada setiap pribadi muslim pasca menjalankan ibadah puasa. Makna takwa yang paling mudah diingat adalah persis seperti yang sering disampaikan para khatib Jum’at: menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya (imtitsal awamirihi wa ijtinabi nawahihi).
Ubay bin Ka’ab dan Umar ibn Khattab pernah berbincang soal takwa ini. Keduanya bersepakat takwa itu ibarat seseorang bepergian melewati jalan yang penuh duri lalu kita mesti hati-hati (atau menjaga diri) saat melintasinya. Berhati-hati menjalani hidup, itulah esensi bertakwa.
Para ulama mendefinisikan takwa dengan cara yang berbeda-beda. Tidak ada yang salah dari definisi tersebut. Karena itu, takwa merupakan gambaran kualitas pribadi terbaik, baik saat berhubungan dengan Allah Swt (hablum min Allah), manusia (hablum min al-nas) maupun dengan alam semesta (hablum min al-alam). Seseorang yang bertakwa merupakan pribadi yang selalu sadar diri dan berusaha selaras dengan Tuhan, manusia dan alam semesta.
Dalam kehidupan praktis, manusia dihadapkan banyak sekali ujian dan tantangan. Semua pilihan hidup memiliki konsekuensinya sendiri. Hidup ini selalu berisi dua hal: susah atau senang, sulit atau mudah. Takwa adalah jalan ‘ninja semua orang’ agar lolos menghadapi ujian di dunia dan bekal terbaik untuk kehidupan sesudahnya (akhirat).
Pencapaian Spiritual
Pada umumnya, setiap orang yang menjalani puasa berusaha untuk menuntaskan puasanya selama sebulan penuh. Tadarus Al-Qur’an diusahakan khatam 30 juz dalam bulan puasa ini. Salat Tarawih sebisa-bisanya dilakukan setiap malam. Jika mungkin, dikerjakan di masjid secara berjamaah. Jika tidak, dilaksanakan sendiri atau bersama keluarga di rumah.
Semalam saja libur Saalat Tarawih, rasanya seperti menyesal seumur-umur karena kehilangan momentum beribadah yang hanya ada di bulan Ramadan. Begitu pula dengan makan sahur. Ada banyak orang yang getun saat bangun tiba-tiba sudah terdengar azan Subuh. Hebatnya, ia tetap berpuasa meskipun tidak bisa santap sahur pada waktunya.
Dari deskripsi di atas, dan masih banyak sekali amalan sunnah yang dapat dikerjakan pada bulan suci ini, Saya hanya ingin menegaskan bahwa puasa merupakan ibadah yang sarat target dan pencapaian. Masing-masing berusaha mencapai titik yang diharapkan. Sasaran itu selalu yang tertinggi.
Ini merupakan penanda bahwa puasa merupakan arena pembelajaran bagi umat manusia agar bekerja sesuai target yang diharapkan. Jika target bisa lalui, barulah ia berhak merayakan keberhasilan. Karena itu, Idulfitri merupakan perayaan pencapaian (achievement) atas target yang ditetapkan oleh Allah Swt.
Selama Ramadan hingga perayaan lebaran yang diisi dengan silaturahmi dan saling memaafkan, rasanya penting bagi setiap muslim untuk mengucapkan resolusi sebagai target spiritual (misalnya, memperbaiki shalat jamaahnya atau shalat malamnya) atau sosial (misalnya, kedermawanan atau dedikasinya saat bekerja) yang akan diwujudkan setahun kedepan, hingga bertemu dengan Ramadan berikutnya.
Kita teguhkan tekad untuk menjadi pribadi yang lebih baik (sosial-spiritual) pasca Idul Fitri ini. Jika itu mampu kita wujudkan, berarti puasa kita telah berdampak bagi kehidupan.
Abu Rokhmad (Staf Ahli Menteri Agama/ Plt. Dirjen Pendis Kemenag RI)
Artikel ini telah terbit di website kememag.go.id.
Apa Reaksi Anda?