Sulsel Darurat Narkoba, Antara Proyek dan Generasi Bangsa
Kita semua perlu sadar secara kolektif terhadap pergeseran dan pergerakan nasional, dimana hari ini ada banyak faktor yang mempengaruhi maraknya penyebaran Narkoba terutama di Sulsel.
Opini | hijaupopuler.id
Saat ini Indonesia, khususnya Provinsi Sulawesi Selatan telah di perhadapkan situasi yang emergency bahaya narkoba, kondisi dimana peredaran dan penyalahgunaannya telah mencapai skala kritis. Tidak hanya sebatas persoalan kesehatan atau hukum, melainkan ancaman sistemik dan terstruktur terhadap generasi bangsa dan ketahanan negara.
Dalam hal ini, kebencanaan Narkoba menjadi sebuah atensi “proyek nasional” yang diangkat pemerintah untuk diatasi besar-besaran. Namun di sisi lain penulis menganalisa ada banyak misteri yang tersimpan dan sarat akan potensi unsur proyek yang terkesan politis dan birokratis, yang menjauh dari substansi penyelesaian kasus tersebut (rekayasa organik).
Boleh juga kita melihat Narkoba ini dalam kontekstualisasi perspektif 'Om' Karl Marx sebagai bentuk opium of the people (candu) yang bukan hanya ada pada agama, seperti diungkapnya-melainkan segala sesuatu yang membuat para manusia post-truth ini pasrah pada ketidakadilan.
Dalam konteks modern, Narkoba dapat dilihat sebagai instrumen ideologis untuk menjauhkan rakyat dari kesadaran kelas, pergerakan dan perjuangan sosial, demi menghindari penderitaan eksistensial, hingga banyak masyarakat yang menggunakannya sebagai pelarian semata, hingga memasuki babak baru kepuasan idea imajinatifnya.
Dewasa ini sebagian besar masyarakat telah mengetahui tentang bahaya Narkoba bagi tubuh. Selain merusak pikiran, ia pun menjadi ancaman bagi masa depan. Tak hanya itu implikasinya, juga menjarah struktur sosial yang sudah barang tentu berpengaruh pada ekosistem kehidupan dalam bermasyarakat, meliputi beban ekonomi, juga kualitas manusia Indonesia, sampai pada tingkat kriminalitas yang terus melambung.
Jika dikontekstualisasikan pada proses perkembangan bangsa dan negara, Narkoba tidak hanya mengancam aspek biologis masyarakat, tetapi juga dalam hal pergeseran budaya, dapat menjadi ancaman geopolitik dan ideologis, yang melemahkan bangsa dari dalam.
Mengutip dari laman kompas.com, soal status darurat Narkoba yang telah ditetapkan sejak tahun 1971, era Presiden Soeharto. Terlebih di Sulsel, pada akhir tahun 2024, seperti diungkapkan Badan Narkotika Nasional (BNN), provinsi ini menempati urutan ke-5 peredaran Narkoba terbesar, yang disinyalir masuk melalui jalur laut Kota Pare-pare dan beberapa daerah lainnya.
Ironisnya dari hal ini, pengumuman bahaya narkoba hampir tiap tahun diumumkan secara resmi oleh pemerintah, namun justru eskalasi besar besaran terus menerus terjadi. Penulis juga melihat pergeseran sosial dan politik bahwa istilah 'darurat' sangat sering muncul menjelang momen politis tertentu, sehingga melahirkan sebuah pertanyaan besar; Apakah ini merupakan suatu bentuk kepedulian nyata, ataukah proyek yang hanya menjadi kuda lumping untuk agenda lain.
Darurat Narkoba menyebar merata di seluruh Indonesia, dari perkotaan hingga pelosok desa. Penjara yang seharusnya menjadi tempat rehabilitasi justru menjadi pusat pengendalian Narkoba, dan sekolah-sekolah pun mulai terpapar. Beberapa daerah seperti Sulsel, termasuk Sumatera Utara dan Jakarta menjadi titik rawan karena jalur distribusi internasional dan lemahnya pengawasan.
Darurat Narkoba memang nyata, namun pertanyaan besarnya apakah tindakan preventinya juga nyata, ataukah hanya sekadar angan-angan utopis bagi mereka para representator rakyat. Saat ini penyebarannya sudah tak dapat dikontrol lagi, tak khayal banyak dari pelajar juga terseret pada pusaran ini. Potret refleksinya bahwa sampai hari ini Narkoba terus surplus, artinya titik-titik rawan jalur distribusi tidak mendapatkan pengawasan yang kuat, ataukah terdapat praktik inkompeten di dalamnya, semoga saja tidak.
Sebagai masyarakat, kita semua perlu sadar secara kolektif terhadap proses pergeseran dan pergerakan nasional, bahwa hari ini ada banyak faktor yang betul-betul mempengaruhi maraknya penyebaran Narkoba khusunya di Sulsel. Alarm keras bagi mereka, para representator yang harus mampu menyelesaikan masalah ini secara menyeluruh dan transparan.
Bukan dengan represivitas, seperti yang terjadi di Sulsel, sebagaimana dilansir dari media viva.com, kasus yang booming di Kabupaten Takalar baru-baru ini. Seorang pemuda mendapatkan perlakuan dehumanisasi, penelanjangan dan pemerasan, serta dipaksa mengaku oleh oknum aparat. Tentu ini menjadi medan refleksi kritis, dan menyimpan sebuah catatan krusial bagi semua pihak, agar lebih concern dalam menyelesaikan masalah.
Berbagai tindakan humanis perlu diaktualkan oleh pihak terkait, edukasi, rehabilitasi, transparansi, kolaborasi multi sektor juga perlu dikuatkan, yang merujuk pada bagian paling krusial ialah penguatan integritas hukum dan aparat.
Muh Qayyum | Sekum PC PMII Kota Palopo, Mahasiswa Unanda Palopo
Apa Reaksi Anda?






