Perlindungan Kesehatan Masyarakat: Menimbang Efektivitas Program Makan Gratis Bergizi di Tengah Maraknya Jajanan Tidak Sehat
Jangan sampai program makan gratis yang bertujuan menyehatkan generasi, justru kalah oleh jajanan tidak sehat yang tumbuh subur di depan mata. Foto : merdeka.com dan penulis.
Opini | hijaupopuler.id
Program Makan Gratis Bergizi (MGB) yang digagas pemerintah merupakan langkah progresif dalam meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) dan menekan angka stunting di Indonesia. Namun di balik semangat tersebut, terselip paradoks yang nyata; maraknya jajanan tidak sehat yang beredar luas di lingkungan sekolah dan masyarakat.
Ironisnya, ketika negara berupaya menyediakan makanan bergizi secara gratis, anak-anak justru tetap terpapar pada makanan berisiko tinggi—penuh pewarna buatan, pengawet, serta kadar gula, garam, dan lemak yang berlebihan. Pertanyaannya, apakah program MGB cukup kuat untuk melindungi kesehatan masyarakat jika perilaku konsumsi kita belum berubah dan pengawasan pangan masih lemah?
Paradoks Gizi di Sekitar Sekolah
Fenomena di lapangan menunjukkan, hampir setiap pagi anak-anak berkerumun di depan gerobak penjual jajanan warna-warni. Sementara itu, guru dan petugas kesehatan berupaya mengajarkan gizi seimbang di dalam kelas.
Kenyataan ini menandakan bahwa tantangan perlindungan kesehatan masyarakat tidak berhenti pada penyediaan makanan bergizi, tetapi juga pada perubahan perilaku dan sistem pengawasan pangan di tingkat akar rumput.
Data Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) menunjukkan bahwa sekitar 60% jajanan anak sekolah belum memenuhi standar keamanan pangan. Sebagian bahkan mengandung bahan kimia berbahaya seperti formalin, boraks, dan rhodamin B.
Bila tidak dikendalikan, hal ini bisa saja merusak efektivitas program MGB yang sejatinya dirancang untuk memperbaiki gizi anak bangsa.
MGB dan Kewajiban Negara Menjamin Pangan Aman dan Bergizi
Program MGB sejatinya adalah implementasi nyata dari amanat Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan, yang menegaskan bahwa setiap warga negara berhak atas pangan yang aman, bermutu, bergizi, dan beragam. Negara wajib menjamin ketersediaan pangan yang tidak hanya cukup secara kuantitas, tetapi juga berkualitas secara gizi.
Landasan ini diperkuat oleh Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan dan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 yang mengatur pembatasan kadar gula, garam, dan lemak (GGL) dalam produk pangan. Regulasi ini menjadi dasar hukum terbaru untuk menertibkan makanan olahan dan jajanan yang berisiko terhadap kesehatan masyarakat, khususnya anak-anak sekolah.
Selain itu, Peraturan Pemerintah Nomor 86 Tahun 2019 tentang Keamanan Pangan menegaskan tanggung jawab pemerintah untuk menjamin seluruh pangan yang beredar aman dari cemaran biologis dan kimia. Di tingkat teknis, Peraturan Badan Pangan Nasional Nomor 9 Tahun 2024 mengatur sistem pengawasan keamanan dan mutu pangan hingga ke level daerah.
Rangkaian dasar hukum ini memperjelas bahwa perlindungan kesehatan masyarakat melalui pangan bukan sekadar kebijakan sosial, melainkan kewajiban hukum negara.
Dari Regulasi ke Implementasi
Meski regulasi sudah kuat, persoalan terletak pada lemahnya implementasi di lapangan. Pengawasan jajanan anak sekolah masih sporadis dan sering kali bersifat reaktif, baru bergerak ketika muncul kasus keracunan atau viral di media sosial.
Padahal, perlindungan kesehatan masyarakat seharusnya berorientasi pada pencegahan (preventif), bukan hanya penindakan. Pemerintah daerah perlu memperkuat inspeksi pangan rutin, melatih pedagang kaki lima tentang higiene dan sanitasi, serta mewajibkan setiap sekolah memiliki kantin sehat bersertifikat.
Langkah-langkah kecil seperti pengawasan rutin dan pelabelan bahan pangan sebenarnya bisa berdampak besar. Namun semua ini membutuhkan sinergi lintas sektor—antara dinas kesehatan, dinas pendidikan, pemerintah daerah, dan masyarakat sipil.
Edukasi Gizi dan Gerakan Sosial
Peraturan tanpa kesadaran publik akan sulit efektif. Karena itu, edukasi gizi harus dikemas lebih menarik, terutama bagi generasi muda yang hidup di era digital. Kampanye “Jajanan Sehat Hebat,” lomba bekal sehat di sekolah, hingga kolaborasi dengan influencer kesehatan bisa menjadi cara baru membangun budaya makan sehat.
Program MGB sendiri bisa menjadi wadah pembelajaran, bukan hanya untuk memenuhi gizi, tetapi juga untuk menanamkan nilai tentang tanggung jawab sosial, kebersihan, dan pentingnya memilih makanan yang aman.
Dari Program Menuju Gerakan Nasional
Program Makan Gratis Bergizi adalah terobosan penting dalam kebijakan kesehatan nasional. Namun keberhasilannya tidak diukur dari banyaknya nasi kotak yang dibagikan, melainkan dari perubahan perilaku konsumsi masyarakat dalam jangka panjang.
Negara telah memiliki landasan hukum yang kuat—mulai dari UU Pangan 2012, UU Kesehatan 2023, PP 86/2019, PP 28/2024, hingga Peraturan Badan Pangan Nasional 9/2024—yang semuanya menegaskan tanggung jawab negara dalam melindungi hak rakyat atas pangan yang aman dan bergizi.
Kini, tugas kita adalah menegakkan hukum itu dalam praktik. Jangan sampai program makan gratis yang bertujuan menyehatkan generasi, justru kalah oleh jajanan tidak sehat yang tumbuh subur di depan mata.
Perlindungan kesehatan masyarakat bukan sekadar kebijakan pemerintah, melainkan gerakan nasional yang dimulai dari kesadaran setiap keluarga: memilih makanan yang aman, bergizi, dan bermartabat.
Dr Takdir Ishak SH MH MKM | Dosen Ilmu Hukum/ Hukum Kesehatan, menjabat Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan dan Kerja Sama UIN Palopo. Penulis saat ini juga aktif menulis buku dan riset mengenai kebijakan publik, kesehatan masyarakat, serta pendidikan generasi muda.
Beberapa buku yang telah diterbitkan antara lain Pengantar Hukum Kesehatan (http://repository.iainpalopo.ac.id/id/eprint/2893, terbit 2018), Jangan Asal Berobat, Yuk Melek Hukum Kesehatan Ala Gen Z Penerbit Oke Terbitkan Indonesia (Terbit Juni 2025), Hukum Kesehatan (Mengungkap Tantangan dan Peluang di Era Modern), Ilmu Kesehatan Masyarakat penerbit CV BRAVO PRESS INDONESIA, Terbit Januari 2025), Legal Protection for The Poor in Order to Get Fair Health Services, dan Tulisan jurnal Perlindungan Hukum bagi Masyarakat Miskin dalam Pelayanan Kesehatan.
Apa Reaksi Anda?
