Perempuan dalam Persepsi Keagamaan: Antara Doktrin dan Mitos Sosial
Ketika perempuan diberi ruang menjadi penafsir dan pembicara agama, tafsir keagamaan menjadi lebih kaya, adil, dan manusiawi. Di sinilah pentingnya mendorong teologi kesetaraan, bukan teologi subordinasi. Ilustrasi/foto : umroh.com dan penulis.
Opini | hijaupopuler.id
Perempuan selalu menjadi topik menarik dalam diskursus keagamaan. Di satu sisi, agama menempatkan perempuan dalam posisi yang mulia. Namun di sisi lain, realitas sosial sering kali menunjukkan bahwa perempuan justru mengalami subordinasi, pembatasan, bahkan diskriminasi—yang ironisnya dibenarkan atas nama agama.
Kita perlu membedakan antara ajaran agama (doktrin) dan mitos sosial yang berkedok agama. Doktrin agama bersumber dari teks suci seperti Alquran dan hadis, sedangkan mitos lahir dari tafsir sosial, budaya patriarkal, atau kepentingan tertentu yang dibungkus simbol keagamaan.
Islam secara tegas menyatakan bahwa laki-laki dan perempuan berasal dari satu jiwa (nafs wāḥidah), lihat QS. an-Nisā’: 1. Artinya, keduanya setara di hadapan Tuhan. Namun dalam praktiknya, muncul keyakinan bahwa perempuan lebih lemah, emosional, bahkan menjadi sumber fitnah. Pandangan semacam ini lebih mencerminkan warisan budaya ketimbang pesan agama.
Sejumlah pandangan klasik dalam fiqih memang lahir dari konteks sosial pada zamannya. Pembatasan terhadap perempuan di ruang publik, misalnya, seringkali bukan karena tuntunan syariat yang abadi, melainkan karena kondisi sosial abad pertengahan yang berbeda jauh dari dunia sekarang.
Sebagaimana ditegaskan oleh Imam al-Ghazali dalam Ihya’ ‘Ulum al-Din, kemuliaan seseorang ditentukan oleh ketakwaannya, bukan oleh jenis kelaminnya. Sementara itu, Ibn ‘Ashur dalam al-Tahrir wa al-Tanwir mengingatkan bahwa “Perbedaan biologis antara laki-laki dan perempuan tidak boleh dijadikan dasar ketidakadilan sosial.”
Fiqih bersifat ijtihadi—hasil pemikiran manusia yang bisa berkembang mengikuti perubahan zaman. Karena itu, tafsir terhadap teks-teks keagamaan perlu dikontekstualisasikan dengan maqāṣid al-syarī‘ah; keadilan, kemaslahatan dan penghormatan terhadap martabat manusia.
Salah satu persoalan mendasar adalah siapa yang menafsirkan teks agama. Selama berabad-abad, tafsir agama didominasi oleh laki-laki, sehingga perspektif dan pengalaman perempuan jarang terdengar. Padahal, sejarah Islam mengenal banyak perempuan ulama dan tokoh spiritual seperti Aisyah ra, Ummu Salamah, dan Rabi‘ah al-Adawiyah. Mereka bukan hanya penutur hadis, tetapi juga pemikir dan panutan moral.
Ketika perempuan diberi ruang menjadi penafsir dan pembicara agama, tafsir keagamaan menjadi lebih kaya, adil, dan manusiawi. Di sinilah pentingnya mendorong teologi kesetaraan, bukan teologi subordinasi.
Reformulasi tafsir agama bukanlah upaya merombak iman, melainkan mengembalikan agama kepada nilai-nilai dasarnya: keadilan, rahmat, dan kemuliaan manusia. Dengan demikian, memperjuangkan kesetaraan gender bukanlah agenda sekuler, melainkan bentuk nyata dari penegakan keadilan Ilahi.
Sudah saatnya kita membaca ulang teks-teks agama dengan kacamata yang lebih jernih. Membedakan mana ajaran yang benar-benar bersumber dari wahyu dan mana yang hanya mitos sosial merupakan langkah penting untuk membebaskan agama dari penafsiran yang menindas. Sebab pada hakikatnya, agama datang untuk memuliakan manusia, bukan menundukkan salah satunya.
Muh Akbar SH MH | Dosen, Wakil Dekan Bidang AUPK Fakultas Syariah UIN Palopo. Aktif menulis opini dan kajian tentang hukum, etika profesi, dan reformasi institusi penegak hukum, serta mengajar ilmu fiqh.
Apa Reaksi Anda?
