Ngaji Filsafat Kok Pusing? Santai, Ini Bukan Untuk Bikin Kamu Kafir
Mahasiswa UIN, khususnya Gen Z, jangan takut belajar filsafat. Yang ditakuti justru iman yang rapuh karena tidak pernah diuji. Ilustrasi/foto : dev-itjen.kemdiktisaintek.go.id dan penulis.
Opini | hijaupopuler.id
Kalau kamu mahasiswa UIN, pasti pernah dengar celetukan klasik: “Hati-hati belajar filsafat, nanti bisa goyang imannya.” Bahkan ada yang lebih ekstrem, “Mahasiswa Ushuluddin itu kalau udah semester lima mulai ragu sama semua hal, termasuk nasi padang.” Padahal kalau dipikir-pikir, justru dengan filsafat Islam kita bisa memahami iman secara lebih matang, bukan cuma ikut-ikutan karena keturunan.
Di era gen Z yang serba cepat, instan, dan penuh distraksi, belajar filsafat Islam itu kayak upgrade iman dari kualitas 480p ke 4K. Biar jelas mana ajaran Islam yang esensial, mana opini manusia, mana budaya, dan mana yang cuma “katanya.”
Filsafat Islam di UIN: Bukan Buat Gaya, Tapi Biar Nggak Kena Hoaks Agama
Sekarang dunia digital penuh banget sama konten dakwah 1 menit. Enak sih, simple. Tapi sering kali shallow thinking—dangkal banget. Makanya mahasiswa UIN perlu belajar filsafat, biar nggak gampang dibawa arus ustadz seleb TikTok yang ngomongnya seperti paling benar sedunia.
Di kampus UIN, filsafat Islam itu semacam hidden gem dalam kurikulum. Banyak yang takut padahal worth it banget. Kita belajar bagaimana para pemikir seperti al-Kindi, al-Farabi, Ibn Sina, al-Ghazali, sampai Mulla Sadra menggunakan akal sebagai alat buat memahami wahyu—bukan buat mengalahkan wahyu.
Nah, di tengah nama-nama besar itu, ada satu tokoh kontemporer yang sering dibahas di kampus, yakni Ramadhan al-Buthi. Ia punya kontribusi penting banget soal epistemologi Islam—cara mendapatkan pengetahuan agama yang benar.
Ramadhan al-Buthi: Ngajarin Kita Beda Mana Wahyu, Mana Murni Akal
Coba bayangin gini: kamu scroll Instagram, terus lihat postingan bilang, “Tuhan itu nggak perlu ibadah kita, jadi ibadah itu nggak penting.” Banyak yang like, share, dan bahkan comment misalnya “masyaAllah dalam banget bang?.”
Eits… kedengarannya “dalam” padahal bisa misleading. Nah, menurut al-Buthi, dalam memahami agama, ada tiga sumber ilmu yang harus dipake barengan, bukan dipukul satu sama lain, yakni wahyu (Alquran dan Hadis), ini menjadi fondasi utama. Lalu akal buat memahami, menganalisis, dan mengontekstualisasi. Dan juga realitas atau empiris, agar ajaran agama tetap relevan, tidak mengawang.
Kalau mau gen Z version-nya, formulan al-Buthi ini kayak “3 Kombo Skill”:
Sumber Ilmu Analogi Gen Z
Wahyu Core value & rules of the game
Akal Google Translate-nya biar paham
Realitas Update Patch Note kehidupan
Al-Buthi tuh tidak anti akal kayak stereotip beberapa orang tentang ulama. Justru ia ngajak agar akal dipakai maksimal, tetapi tetap dikawal wahyu, bukan liar sampai lupa arah (kayak pecinta konspirasi bumi datar).
Mahasiswa UIN dan Fase Krisis Eksistensial: Normal Kok!
Ayo ngaku, siapa yang waktu semester 3–5 tiba-tiba jadi filsuf dadakan? Mulai mempertanyakan, “Kenapa aku harus shalat? Tuhan butuh nggak sih?” “Kalau Allah Maha Tahu segalanya, kita punya free will nggak sih?” atau pertanyaan “Agama itu absolut atau produk budaya?”
Wajar banget! Itu bagian dari proses intelektual. Bahkan al-Ghazali aja pernah ngalamin mental breakdown intelektual sebelum menemukan ketenangan lewat tasawuf.
Fase krisis iman intelektual itu sebenarnya sehat selama kamu nggak berhenti di “bingung” tapi lanjut ke “mencari” lalu “menemukan.” Justru kalau kamu nggak pernah mempertanyakan, imanmu bisa rapuh karena cuma ikut-ikutan.
Filsafat Islam hadir untuk bantu mahasiswa melewati fase itu dengan landasan ilmiah dan spiritual, bukan dengan “ya udah terima aja, jangan mikir!”
Kenapa Gen Z Butuh Filsafat Islam?
Karena gen Z hidup di era banjir informasi dan kebingungan nilai. Ada tiga alasan kenapa filsafat Islam penting buat generasi sekarang, pertama, biar nggak jadi korban doktrin tanpa verifikasi. Banyak konten agama viral tapi nggak jelas sanad ilmunya. Filsafat ngajarin kita critical thinking beradab: berpikir kritis, tapi tetap santun.
Kedua, biar imanmu punya akar, bukan cuma branding. Jangan sampai iman cuma estetika: pakai kalung ayat kursi, caption Islami, tapi nggak paham maknanya.
Dan yang ketiga, biar agama relevan dan menjawab problem zaman. Masalah kita beda banget sama zaman Imam Ghazali. Kita punya isu AI, mental health, identitas digital, hustle culture. Kita butuh filsafat Islam yang mampu dialog dengan realitas modern.
Belajar Filsafat Islam Itu Nggak Haram, Yang Haram Itu Sok Pintar Tapi Asbun
Kunci belajar filsafat itu adab intelektual, kata banyak ulama. Debat boleh, beda pendapat itu sehat, tapi jangan sombong intelektual. Jangan baru baca dua buku langsung update status: “Agama tuh relatif, guys. Wake up!”
Kata al-Buthi, ketika akal dan wahyu dipertentangkan, itu berarti ada yang salah dalam cara berpikir kita, bukan salah agama. Filsafat bukan buat membuatmu meninggalkan Allah swt, tapi buat mengenal-Nya dengan lebih sadar.
Tips Belajar Filsafat Islam ala Gen Z Biar Nggak Error
Pertama, mulai dari yang mudah–jangan langsung baca Ibn Arabi kalau baca al-Kindi aja masih megap-megap.
Kedua, diskusi bareng circle sehat–hindari circle yang suka merendahkan. Cari teman pikir yang dewasa berdialog.
Ketiga, seimbangkan dengan ngaji spiritual–biar hati dan akal tumbuh bareng, bukan timpang sebelah.
Penutup, Iman Cerdas Itu Keren
Pada akhirnya, mempelajari filsafat Islam bikin kita sadar bahwa agama itu bukan beban, tapi petunjuk hidup yang masuk akal. Filsafat itu bukan musuh iman—ia justru bikin iman punya kedalaman.
Jadi buat mahasiswa UIN, khususnya Gen Z, jangan takut belajar filsafat. Yang harus kamu takuti justru iman yang rapuh karena tidak pernah diuji.
Percaya deh, punya iman yang kritis, matang, dan berkelas itu jauh lebih keren daripada cuma ikut-ikutan.
Intan Diana Fitriyati MAg | Penulis asal Purwokerto, Jawa Tengah
Apa Reaksi Anda?
