Ngaji Kitab Kuning dan Edukasi Seksual di Pesantren, Saatnya Santri Melek Soal Reproduksi

Ngaji Kitab Kuning dan Edukasi Seksual di Pesantren, Saatnya Santri Melek Soal Reproduksi
Ngaji Kitab Kuning dan Edukasi Seksual di Pesantren, Saatnya Santri Melek Soal Reproduksi

Santri yang paham agama sekaligus melek kesehatan reproduksi akan tumbuh menjadi pribadi yang utuh, yakni yang berilmu, berakhlaq, dan siap menjadi pemimpin umat di masa depan. Ilustrasi/foto : deepublishstore.com dan penulis.

Perspektif | hijaupopuler.id

Ketika berbicara soal pesantren, masyarakat sering membayangkan tempat yang hanya fokus pada kajian kitab kuning, fikih, tafsir, dan tasawuf. Padahal, sejak era kolonial hingga kini, pesantren memegang peran penting sebagai pusat transformasi sosial dan penjaga moral umat. Sejak Resolusi Jihad 22 Oktober 1945 yang dicetuskan Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari, pesantren tidak hanya melahirkan ahli agama, tetapi juga agen pembaharu masyarakat.

Di era digital dan globalisasi, tantangan baru muncul—salah satunya terkait pendidikan kesehatan reproduksi dan seksualitas di lingkungan pesantren. Tema ini sering dianggap tabu, padahal realitas sosial menunjukkan bahwa santri sangat membutuhkan pemahaman yang benar, ilmiah, dan berbasis nilai Islam. Apalagi, kitab kuning sendiri sejatinya telah membahas isu-isu seputar tubuh, akil baligh, haid, pernikahan, dan relasi suami-istri sebagai bagian dari syariat.

Tabu yang Masih Mengakar di Pesantren

Di banyak pesantren, pembahasan mengenai seksualitas masih dianggap tidak pantas. Dampaknya, pengetahuan santri mengenai kesehatan reproduksi sangat terbatas. Banyak santri mengetahui hukum-hukum fikih seputar mandi wajib, haid, atau ihtilam, tetapi belum memahami aspek kesehatannya secara holistik—baik secara biologis, psikologis, maupun sosial.

Padahal, WHO (2023) mendefinisikan kesehatan reproduksi bukan hanya sehat secara biologis, tetapi juga sejahtera mental, sosial, dan spiritual. Ini sejalan dengan ajaran Islam yang menjunjung maqāṣid al-syarī‘ah, khususnya ḥifẓ al-nafs (menjaga jiwa) dan ḥifẓ al-nasl (menjaga keturunan).

Sayangnya, minimnya ruang aman untuk berdiskusi menyebabkan santri lebih banyak mencari informasi dari internet tanpa pendampingan guru. Survei Komnas Perempuan (2022) menunjukkan bahwa kasus kekerasan seksual di lingkungan pendidikan meningkat 15% per tahun, termasuk di lembaga berbasis keagamaan. Selain itu, studi BKKBN (2023) mencatat bahwa 1 dari 5 remaja Indonesia memiliki pemahaman keliru tentang menstruasi, mimpi basah, dan kesehatan reproduksi dasar.

Jika pesantren tidak hadir memberikan literasi yang benar, maka santri akan belajar dari sumber yang salah.

Kitab Kuning: Sumber Ilmu yang Harus Dikonstekstualisasi

Bicara tentang seksualitas bukan berarti meninggalkan tradisi keilmuan Islam. Justru, kitab kuning memberikan landasan penting bagi penyusunan modul edukasi seksual berbasis pesantren.

Beberapa rujukan kitab kuning yang menyinggung persoalan reproduksi dan seksualitas, di antaranya; kitab Uqūd al-Lujjayn dengan topiknya tentang etika relasi suami-istri, kitab Hāsyiyah al-Bājūrī dan al-Bujayramī tentang pubertas, haid, ihtilam dan mandi wajib. Lalu ada kitab Kifāyatul Akhyār topik nikah, hak dan kewajiban seksual, serta kitab Ihyā’ Ulūmiddīn soal adab menjaga kesucian diri dan nafsu.

Namun, konteks sosial saat kitab ini ditulis berbeda dengan tantangan santri hari ini. Karena itu, perlu pendekatan hermeneutika pesantren—yakni membaca teks klasik secara kontekstual agar tetap relevan dengan realitas kesehatan modern.

Dalam Pesantren Studies, Ahmad Baso menyebut bahwa pesantren memiliki tradisi turats yang dinamis—yakni mentransformasikan teks klasik menjadi solusi kontekstual. Artinya, bicara kesehatan reproduksi bukan westernisasi, tapi bagian dari ngaji dan ‘amal.

Mengapa Santri Harus Melek Edukasi Seksual?

Ada tiga alasan mendasar, pertama, perlindungan diri dan pencegahan kekerasan seksual. Santri perlu tahu batas aurat, consent, dan adab pergaulan sesuai Islam. Edukasi seksual justru memperkuat akhlak dan kehormatan (ḥifẓ al-‘irdl).

Lalu yang kedua, untuk mempersiapkan generasi keluarga sakinah. Suatu saat santri akan menjadi orang tua, pendidik, atau tokoh masyarakat. Pemahaman sejak dini akan mencegah kekerasan dalam rumah tangga, toxic marriage, dan ketidakharmonisan yang bersumber dari ketidaktahuan.

Dan yang ketiga, karena merupakan perintah agama untuk menuntut ilmu. Nabi saw bersabda,

“Thalabul ‘ilmi faridhatun ‘ala kulli muslim wa muslimah.”

Termasuk dalam hal ini, ilmu menjaga kesehatan dan kehormatan diri.

Integrasi Ilmu Medis, Fikih, dan Sosial: Model Pendidikan Seksual Pesantren

Jika pesantren ingin maju, pendekatan integratif harus dilakukan. Setidaknya ada tiga pilar, yakni Medis–Dokter, memberikan edukasi ilmiah tentang pubertas, organ reproduksi, menstruasi sehat, dan pencegahan penyakit. Lalu Fikih–Kiai atau ustaz, memberikan dasar hukum syariah agar edukasi tidak lepas dari adab dan aqidah. Dan Sosial–Pendekatan psikologi remaja, gender, dan perlindungan anak untuk membangun kesadaran etis.

Model integrasi ini sejalan dengan prinsip maqāṣid al-syarī‘ah, sehingga tidak bertentangan dengan agama—justru memperkuatnya.

Langkah-langkah Strategis untuk Pesantren

Beberapa strategi yang bisa dilakukan pesantren antara lain dengan membuat kurikulum fiqih kesehatan reproduksi berbasis kitab kuning, embentuk tim pendampingan tarbiyah jinsiyah yang aman dan beretika, mengadakan kelas diskusi terpisah berdasarkan usia dan gender, memanfaatkan media digital seperti video, podcast, dan Q&A anonim, serta dengan melibatkan dokter, psikolog, dan alumni kompeten sebagai pemateri.

Cara ini telah diterapkan oleh beberapa pesantren modern di Jawa dan Madura dengan hasil signifikan; peningkatan literasi reproduksi mencapai 72% (Studi Rumah Kitab & Rutgers Indonesia, 2021).

Penutup: Pesantren Harus Menjadi Ruang Aman Ilmu dan Akhlak

Pesantren sejak dulu menjadi benteng akhlak, maka sangat pantas jika menjadi pelopor edukasi seksual yang bermartabat. Mengajarkan kesehatan reproduksi bukanlah membuka aib atau mendahulukan syahwat—melainkan bagian dari menjaga martabat manusia, sebagaimana Islam ajarkan.

Santri yang paham agama sekaligus melek kesehatan reproduksi akan tumbuh menjadi pribadi yang utuh, yakni yang berilmu, berakhlaq, dan siap menjadi pemimpin umat di masa depan.

Intan Diana Fitriyani MAg | Dewan Pengasuh Ponpes Al-Masyhad Manbaul Falah Walisampang, Pekalongan, Jawa Tengah

Apa Reaksi Anda?

like

dislike

love

funny

angry

sad

wow