Skripsi Tak Perlu Tebal! Menemukan Makna dalam Ketepatan Substansi

Skripsi tak perlu tebal, yang penting padat dan berdampak.
Perspektif | hijaupopuler.id
Sudut ruang perpustakaan yang sunyi, deretan skripsi berjejer rapi. Tebalnya bervariasi ada yang ramping, ada pula yang seperti naskah ensiklopedia. Tapi satu pertanyaan menggantung di udara, apakah ketebalan itu berbanding lurus dengan kebermanfaatannya?
Mahasiswa, terutama di tingkat akhir, kerap terjebak dalam paradigma lama: "semakin tebal skripsi, semakin serius penelitiannya."
Tak jarang, demi menambah halaman, teori diperpanjang, pembahasan diputar-putar, dan kutipan diperbanyak sekadar agar skripsi terlihat "berisi." Padahal, seperti makanan, tidak semua yang porsinya banyak itu bergizi.
Skripsi ideal bukan tentang kuantitas, tapi kualitas. Substansi yang tajam, fokus penelitian yang jelas, serta data yang valid dan relevan justru menjadi kunci utama.
Seperti kata Albert Einstein, “If you can’t explain it simply, you don’t understand it well enough.” Maka, skripsi yang baik seharusnya mampu menjelaskan hal kompleks dengan bahasa yang sederhana, bukan membungkus hal sederhana dengan bahasa kompleks.
Bayangkan skripsi yang hanya 50 halaman, tapi isinya membedah strategi pemasaran UMKM lokal yang mampu menaikkan omzet hingga 200%. Atau penelitian hukum yang ringkas namun sukses mengungkap celah dalam peraturan daerah yang merugikan kelompok rentan. Di sinilah esensi skripsi diuji, apakah dia berbicara pada kenyataan, atau hanya berkutat pada buku teori?
Contoh konkret bisa dilihat pada penelitian-penelitian mikro dengan pendekatan kualitatif. Dalam studi kasus tentang dampak kebijakan zonasi sekolah di daerah pelosok, seorang mahasiswa menemukan bahwa sistem tersebut memperkuat diskriminasi wilayah karena fasilitas sekolah tidak merata.
Data dikumpulkan lewat wawancara, observasi lapangan dan dokumen lokal metode sederhana, tapi menghasilkan temuan yang kuat.
Dalam dunia akademik, validitas data adalah tulang punggung keilmuan. Skripsi yang bernas harus mengedepankan data yang sahih, bukan hanya kutipan dari artikel daring yang belum terverifikasi.
Penggunaan triangulasi data, wawancara mendalam, dan bahkan dokumentasi lapangan memberi kekuatan pada argumen.
Analisis mendalam tak harus rumit. Ia adalah tentang keterampilan membedah makna dari data, mengaitkannya dengan teori, lalu mengartikulasikan kesimpulan secara lugas.
Skripsi dengan 40 halaman yang memuat hasil analisis kritis akan jauh lebih berharga dibandingkan 150 halaman yang penuh pengulangan.
Mahasiswa harus mulai meyakini bahwa skripsi bukan ajang maraton mengetik, tapi ruang berpikir. Skripsi adalah latihan akademik untuk berpikir sistematis, menulis argumentatif dan menyumbangkan pengetahuan yang meski kecil, namun berguna bagi masyarakat.
Skripsi tak perlu tebal, yang penting padat dan berdampak. Dunia tidak membutuhkan lebih banyak halaman, tapi lebih banyak gagasan.
Maka, menulislah dengan niat untuk berbagi pemahaman, bukan sekadar memenuhi kewajiban akademik. Karena kelak, yang dikenang bukan seberapa banyak kamu menulis, tapi seberapa dalam kamu berpikir.
Apa Reaksi Anda?






