Perang Tarif AS–Tiongkok: Gejolak Neo-Merkantilisme dan Ancaman Keseimbangan Ekonomi Global

Perang Tarif AS–Tiongkok: Gejolak Neo-Merkantilisme dan Ancaman Keseimbangan Ekonomi Global

Saat dua gajah bertarung, rumput yang tidak ingin layu harus belajar berdiri lebih kuat—dengan ilmu, kedaulatan dan keberpihakan pada rakyat.

Opini | hijaupopuler.id

Apa yang terjadi antara Amerika Serikat dan Tiongkok saat ini bukanlah sekadar tarik-menarik kebijakan dagang, melainkan merupakan cerminan paling nyata dari neo-merkantilisme geopolitik abad ke-21.

Pengenaan tarif impor sebesar 145% oleh AS dan balasan 125% oleh Tiongkok memperlihatkan bahwa kekuatan ekonomi besar dunia sedang memasuki fase baru dalam perang hegemonik ekonomi, bukan sekadar konflik dagang biasa.

Dalam kacamata ekonomi politik global, langkah ini harus dipahami sebagai upaya masing-masing negara mempertahankan kedaulatan ekonominya di tengah gejolak globalisasi yang kian rapuh.

Amerika Serikat, dengan narasi melindungi industri dalam negeri dan menyeimbangkan neraca perdagangan, kembali menggunakan instrumen proteksionisme tarif yang dulu dianggap usang oleh kaum liberalis pasar.

Namun realitas membuktikan bahwa bahkan negara dengan ekonomi pasar paling bebas pun, pada akhirnya akan menutup diri bila merasa kedaulatannya terancam.

Sementara Tiongkok, sebagai kekuatan manufaktur dunia, menanggapi agresi tarif ini dengan balasan serupa untuk mempertahankan paritas dagang strategisnya dan menjaga kredibilitas sebagai pemain besar global.

Perang tarif ini tidak berdampak secara bilateral saja. Dunia—termasuk Indonesia—berada dalam pusaran sistemik dari ketegangan ini. Rantai pasok global terguncang, harga bahan baku naik, tekanan inflasi meningkat dan arus investasi menjadi lebih volatil.

Negara-negara berkembang yang terhubung pada ekosistem ekspor-impor kedua raksasa ini harus bersiap menghadapi resesi mikro dan ketidakstabilan makroekonomi, karena efek domino dari penguatan tarif dan pelemahan demand global akan segera terasa.

Dalam perspektif ekonomi kerakyatan dan kemandirian nasional, Indonesia harus menanggapi fenomena ini bukan dengan sikap reaktif, tetapi dengan strategi rekonstruksi struktural ekonomi.

Ketergantungan terhadap bahan baku impor dan pasar ekspor tunggal harus segera dikurangi. Diversifikasi pasar, substitusi impor strategis, serta penguatan industri lokal berbasis nilai tambah domestik menjadi keniscayaan.

Lebih dari itu, saat negara-negara besar saling melukai dalam 'perang dagang,' kita justru harus meneguhkan ekonomi berdikari sebagaimana digagas oleh pendiri bangsa—berdiri di atas kaki sendiri, memanfaatkan sumber daya sendiri, dan menyusun agenda ekonomi berdasarkan kepentingan nasional, bukan tekanan eksternal.

Akhirnya, perang tarif ini sejatinya bukan tentang siapa yang menang dalam angka neraca dagang, melainkan tentang siapa yang paling mampu bertahan dalam ketegangan struktural global.

Negara yang kokoh bukanlah yang paling agresif menyerang, tetapi yang paling adaptif dalam membangun daya tahan ekonomi domestiknya.

Maka dari itu, saat dua gajah bertarung, rumput yang tidak ingin layu harus belajar berdiri lebih kuat—dengan ilmu, kedaulatan dan keberpihakan pada rakyat.

Dr Adzan Noor Bakri SESy MESy | Dosen, Korpus Abdimas LPPM IAIN Palopo

Apa Reaksi Anda?

like

dislike

love

funny

angry

sad

wow