Kepentingan Koalisi vs Gagasan Capres: Siapa Penentu Masa Depan Indonesia?
Calon presiden potensial Ganjar Pranowo, Prabowo Subianto, dan Anies Baswedan (Ilustrasi: arina.id/Aceng Darta)
Pertemuan baru-baru ini di Universitas Gadjah Mada, yang menghadirkan calon presiden potensial Ganjar Pranowo, Prabowo Subianto, dan Anies Baswedan, tampaknya merupakan ciri khas dari keterlibatan demokratis. Acara-acara seperti ini sangat penting, terutama bagi negara demokrasi muda seperti Indonesia, untuk mendorong perdebatan intelektual dan mendorong partisipasi masyarakat. Namun, pertanyaan yang lebih mendalam tetap berlaku: Apakah debat-debat ini benar-benar merupakan kompetisi gagasan yang otentik, atau hanyalah sebuah pertunjukan yang diorkestrasi oleh koalisi-koalisi di belakang layar? Selanjutnya, apa gunanya adu gagasan dari calon presiden jika yang akan menentukan masa depan Indonesia sejatinya adalah pertarungan kepentingan dari koalisi di belakang mereka?
Mari kita jujur: kerangka politik Indonesia berada dalam sebuah koalisi. Prinsip-prinsip dasar demokrasi - transparansi, representasi, dan akuntabilitas - sering kali dikalahkan oleh kepentingan strategis koalisi yang kuat. Ketika seorang kandidat mengartikulasikan sebuah kebijakan, apakah itu merupakan visi tulusnya untuk bangsa, atau apakah itu merupakan politik balas budi untuk menenangkan para penguasa di belakangnya? Meskipun struktur politik Indonesia memungkinkan demokrasi multi-partai, kemajemukan ini telah melahirkan sistem di mana tidak ada satu partai pun yang memiliki kekuatan absolut, dan koalisi tidak dapat dihindari. Dalam sistem ini, gagasan sering kali tidak mendapat tempat.
Ide memang memiliki kekuatan; tidak ada yang bisa membantahnya. Sebuah ide dapat mengubah arah sejarah. Namun, dalam matriks politik Indonesia yang kompleks, gagasan lebih seperti chip dalam permainan rolet ideologis yang berisiko tinggi, yang dipertaruhkan oleh setiap koalisi untuk memaksimalkan peluang mereka dalam dominasi politik. Proses ini mengubah gagasan dari visi transformatif menjadi alat transaksional.
Baca Artikel Selengkapnya di Sini ARINA.ID
Apa Reaksi Anda?