Lagi Soal Kurma Dan Puasa (Bagian Ke-2)

Lagi Soal Kurma Dan Puasa (Bagian Ke-2)

Sesuai janji admin, karya ini merupakan bagian kedua atau sambungan dari tulisan Rektor IAIN Palopo Dr Abbas Langaji MAg sebelumnya yang telah tayang dengan judul 'Puasa Dan Kurma (1).' Selamat membaca! Foto: Republika/Wihdan Hidayat

Kolom | hijaupopuler.id

Dalam kaitan dengan berbuka puasa, selain berbuka dengan korma, hal lain yang disunnahkan oleh Nabi saw adalah berbuka bersama dan berbagi makanan untuk menu buka puasa.

Nabi Muhammad saw mencontohkan dalam beberapa kesempatan berbuka puasa secara berjamaah, dengan struktur jamaah yang heterogen, dari semua lapisan masyarakat dengan beragam profesi dan status sosial; semua duduk dalam satu suasana penuh keakraban.

(Terkadang) kenyataan berbeda kita praktikkan; sunnah buka puasa bersama ini di Indonesia kemudian dilembagakan, sehingga (dalam suasana normal) hampir setiap hari kita saksikan acara buka puasa bersama, yang (biasanya) didahului dengan rangkaian seremonial lain, semisal tawshiyah keagamaan.

Buka puasa dibuat sebagai acara ekslusif, hanya dari kalangan tertentu yang selevel atau yang lebih tinggi dari pemilik acara yang diundang.

Katakanlah, bila menu makan malam setelah buka puasa dan shalat magrib adalah daging kambing; boleh jadi di antara tokoh-tokoh tertentu yang diundang ada orang-orang yang apabila mengkomsumsi kambing spontan berucap "Astagfirullah,” karena kolesterol dan atau tekanan darahnya dikhawatirkan akan segera meninggi.

Padahal boleh jadi di luar sana banyak saudara kita yang seiman yang apabila diundang atau diberi hidangan daging kambing, mereka akan berucap “Alhamdulillah,” dan atau dengan ungkapan syukur lainnya.

Kalau toh ada beberapa orang dari kalangan 'bawah' yang dihadirkan, mereka sesungguhnya hadir 'tersiksa' karena penasaran dengan menu yang (bagi mereka) luar biasa, namun dalam keterbatasan menikmati selahapnya karena sadar diri berada bukan di kelasnya; anak-anak yatim kadang dijadikan hanya sebagai 'pelengkap' agar terkesan bahwa pelaksana acara tersebut penyantun terhadap mereka para anak yatim.

Sunnah berbuka puasa bersama sekarang ini dikontekstualisasikan dengan berbagi makanan kepada sesama (muslim), baik yang dilakukan oleh beberapa orang dan berbagai pihak. Hal ini setidaknya manifestasi bentuk kepedulian sosial, tidak menonjolkan kelas sosial.

Bukankah Nabi saw dalam salah satu hadisnya bersabda bahwa “Siapa yang memberi makan orang yang berpuasa, maka ia akan memperoleh pahala sebesar pahala orang berpuasa yang diberinya makan tersebut, tanpa mengurangi pahala orang yang berpuasa itu sedikit pun.

Berbuka secara berjamaah tidak selalu diartikan berbuka dalam suatu tempat yang sama pada saat yang sama, namun dalam konteks keindonesiaan dimaknai dan diwujudkan ke dalam bentuk berbagi degan mereka yang ketika menerima pemberian kita spontan berucap “Alhamdulillah.”

Ketika sebagian saudara kita berada dalam kondisi kehidupan yang serba susah, Tuhan Yang Maha Penyayang memberi kesempatan luas bagi yang mampu untuk berbagi dengan sesama, yang sesungguhnya itu menjadi tambang kebajikan bagi mereka yang memanfaatkannya dengan baik.

Kita patut mengapresiasi saudara-saudara kita (tanpa kecuali), dari berbagai kalangan baik secara personal-individual, maupun institusional-kolektif melakukan kegiatan amal dalam beragam bentuknya, membantu sesama yang mengalami keterbatasan untuk memperoleh menu buka puasanya di suatu hari.

Menutup bagian akhir dari dua tulisan panjang ini, ada dua ayat Alquran yang patut dicamkan:

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian. Maka perumpamaan orang itu seperti batu licin yang di atasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadilah dia bersih (tidak bertanah). Mereka tidak menguasai sesuatu pun dari apa yang mereka usahakan; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir.” (QS al-Baqarah ayat 264).

Jika kamu menampakkan sedekah(mu), maka itu adalah baik sekali. Dan jika kamu menerimanya dan kamu memberikan kepada orang-orang fakir, maka gunakan itu lebih baik bagimu. Dan Allah akan memilihkan kamu dari yang mau bertanya-tanyamu; dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS al-Baqarah ayat 271).

Bila publikasi berlebihan melalui beragam media yang ada dianggap sebagai bentuk mendemonstrasikan kegiatan berbagi; yang boleh jadi berpotensi menyakiti hati si penerima karena keseringan melihat dan atau mendengar wajahnya dipublikasikan sebagai penerima sedekah, maka alangkah baiknya kita meminimalisasi publikasi kegiatan-kegiatan caritas tersebut. Allah Maha Melihat, lagi Maha Mengetahui. Wallahu a’lam bi al-shawâb.

Abbas Langaji | Rektor IAIN Palopo

Apa Reaksi Anda?

like

dislike

love

funny

angry

sad

wow