Filsafat Jadi Kurikulum Sekolah? Jalan Menuju Literasi Kritis

Filsafat Jadi Kurikulum Sekolah? Jalan Menuju Literasi Kritis

Literasi kritis adalah opsi yang bisa dipikirkan. Dunia pendidikan memerlukan pemikiran kritis. Memikirkan cara menjadikan siswa cerdas tidak bisa dilepaskan tanpa pemikiran kritis.

Opini | hijaupopuler.id

Erich Fromm menyebut dunia sekarang sebagai dunia cybernation, sebuah dunia yang dihuni oleh mesin-mesin yang berpikir lebih cepat dan tepat dibanding manusia. Di abad-21, bahasa coding, programmer dan semacamnya menjadi keniscayaan.

Pendapat ini bisa ditemukan pembenarannya lewat fakta bahwa dunia di abad 21 adalah abad digital dan otomasi. Informasi serba digital dan sangat cepat. Menjelajahi dunia cukup menekan tomboh search di kotak pandora google.

Beberapa pakar memprediksi, di masa mendatang, beberapa pekerjaan lama akan digantikan oleh pekerjaan baru yang berbasis otomasi dan AI (artificial intellegences). Ini menandakan manusia memerlukan skill baru yang harus bisa menyesuaikan dengan zaman.

Dunia baru memerlukan skill baru. Keduanya sangat berhubungan. Manusia harus terus belajar lalu menyesuaikan diri. Jika tidak, maka zaman akan membunuh anda atau hanya hidup menjadi kaum nirguna/kaum rebahan. Itulah wajah zaman kita saat ini.

Kendati demikian, ada satu skill yang takkan pernah mati sekurang-kurangnya yaitu membaca dan paling penting yaitu menulis. Keterampilan ini senantiasa berguna dan tetap relevan untuk setiap masa. Pendapat ini mungkin sangat subjektif. Sebab dalam beberapa kasus, tak semua membutuhkan kemampuan menulis, kadang yang dibutuhkan skill olah suara atau retorika. Sebut saja, penyanyi dan motivator. Ada juga selain itu yang membutuhkan skill lain, yakni olah lidah; chef atau tukang masak dan skill olahraga; atlet.

Ketiga skills tadi tak membutuhkan kemampuan olah diksi dan menyusun kalimat berparagraf sampai bejibun, tetapi penyanyi, motivator, chef, ataupun atlet pada dasarnya adalah pembaca. Sebelum menjadi penyanyi, motivator, chef atau dan atlet, dulu mereka membaca buku dan membaca pengalaman sekitar. Mengoleksi buku kiat-kiat menjadi atlet, mengkhatamkan buku kumpulan bumbu kuliner sambil praktek membuat masakan atau membaca pengalaman perjalanan hidup penyanyi idola pernah mereka lakukan. Ketiga bidang pekerjaan itu tadi secara tidak langsung harus melakukan literasi dasar, yakni membaca.

Selain literasi dasar, literasi yang jauh lebih menarik adalah menulis. Menulis itu skill tersendiri. Banyak pekerjaan dimulai dengan menulis tak terkecuali coding itu sendiri. Menulis kata Paulo Freire adalah refleksi yang mengekspresikan pergulatan penulis dengan dunia. Bahkan ketika penulis memilih mengabaikan kenyataan, namun sesungguhnya ia tetap berseteru dengan dunia (Freire, 2007).

Menulis dalam pengertian ini berarti dialektika sang penulis terhadap semesta. Penulis mencandra semesta lewat peristiwa, budaya dan segalanya, lalu memosisikan dirinya sebagai titik balik kehidupan.

Definisi yang sangat populer diterangkan Pramoedya Ananta Toer. Menulis adalah bekerja untuk keabadian. Seseorang bisa saja mencapai kecerdasan level puncak bahkan setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis berarti ia akan hilang dari masyarakat dan sejarah (2011).

Menulis di sini berarti menjadi panggilan sejarah. Dan menjadi penulis sama dengan menunaikan kerja-kerja kebudayaan. Menulis bahkan kebudayaan itu sendiri. Tanpa tradisi tulis menulis, manusia tidak akan mengetahui sejarahnya. Bukankah sejarah dan peradaban dijelaskan melalui tulisan. Masyarakat bisa memahami kebudayaannya karena tulisan.

Lembaga dunia memasukkan membaca dan menulis sebagai alat ukur kemajuan suatu negara. OECD mengindeks literasi untuk menilai kualitas pendidikan. OECD (Organization for Economic Cooperation and Development) melalui Program for International Student Assessment (PISA) melakukan evaluasi prestasi siswa selama tiga tahun sekali. Ada juga UNDP (United Nation Development Program), lembaga naungan PBB yang memeringkat negara berdasarkan kinerja lembaga pengetahuan suatu negara. Saat ini, ranking UNDP Indonesia berada diperingkat 83 dengan skor 45.04. Rangking ini turun dibanding tahun lalu yang berada di rangking 79.

Karena itu, pemerintah melalui Kemendikbudristek era Jokowi berupaya meningkatkan indeks negara di mata dunia dengan menggalakkan gerakan literasi di sekolah-sekolah. Tujuannya tentu saja adalah memajukan bangsa. Bahkan, pada kegiatan Program Peluncuran Sastra Masuk Kurikulum periode Nadiem Makarim mewacanakan akan memasukkan sastra sebagai salah satu kurikulum dalam pendidikan nasional. Nadiem mengatakan ini sebagai bentuk keseriusannya dalam meningkatkan minat baca dan kemampuan peserta didik. Kendati kebijakan itu tak pernah terealisasi, Kemendikdasmen di era Prof Dr Abdul Mu'ti mengusung satu kebijakan baru yakni memasukkan coding sebagai mata pelajaran di sekolah-sekolah.

Penulis berpendapat, sastra dan coding belum cukup. Keduanya harus ditajamkan lagi dengan penambahan materi lain, sebut saja filsafat. Kendati materi ini cukup berat, tetapi pemerintah harus berani mengambil resiko. Pemerintah harus berani mengambil kebijakan tidak populis. Karena terkadang perubahan bisa terwujud melalui tindakan berani meski tidak sukai.

Masuknya filsafat sebagai kurikulum pendidikan bukan tidak mungkin akan menjadikan dunia pendidikan terutama sekolah bisa maju. Dengan filsafat, siswa akan mempelajari bagaimana dunia bergerak. Filsafat sekaligus akan memberikan siswa cara pandang yang lebih kritis dalam melihat dunia dan bagaimana cara mengubahnya.

Bangsa ini dapat belajar dari sejarah Prancis pada abad-19 yang memasukkan filsafat sebagai mata pelajaran di bangku sekolah menengah. Adalah Profesor Victor Cousin, Menteri Pendidikan Prancis, yang kala itu menetapkan filsafat sebagai mata pelajaran di sekolah menengah (Bertens, 2014).

Apabila pelajaran sastra dan filsafat masuk dalam kurikulum pendidikan nasional, maka ia akan menjadi paket lengkap literasi progresif. Literasi progresif jika didefinisikan berarti kegiatan baca-tulis yang tidak terbatas pada membaca untuk pintar, menulis untuk dikenang, melainkan membaca untuk melihat dunia secara kritis, lalu menulisnya menjadi satu gagasan perubahan.

Andai sastra dan filsafat masuk dalam kurikulum pendidikan, maka keduanya akan menjadi kurikulum literasi kritis dalam dunia pendidikan kita. Literasi kritis tidak seperti literasi biasa, yang hanya berisi kesadaran tentang pentingnya membaca. Literasi kritis tidak mengajarkan cara membaca, tetapi mengonversi bacaan menjadi tulisan kritis terhadap dunia.

Literasi kritis adalah opsi yang bisa dipikirkan. Dunia pendidikan memerlukan pemikiran kritis. Memikirkan cara menjadikan siswa cerdas tidak bisa dilepaskan tanpa pemikiran kritis. Pemikiran kritis itu hanya ditemukan dalam sastra dan filsafat.

Muhammad Suryadi R | Mahasiswa Pascasarjana IAIN Parepare, Sekretaris PC GP Ansor Kabupaten Barru & Peneliti Parametric Institut

Apa Reaksi Anda?

like

dislike

love

funny

angry

sad

wow