Renungan Jumat, Persiapan Menuju Akhir Bersama Fudhail bin ‘Iyadh

Renungan Jumat, Persiapan Menuju Akhir Bersama Fudhail bin ‘Iyadh

Hidup yang bermakna bukanlah hidup yang panjang usia semata, tetapi yang penuh dengan kesadaran untuk mempersiapkan jawaban.

lslami | hijaupopuler.id

Kisah seorang lelaki lanjut usia bersama Imam Fudhail bin ‘Iyadh (187 H) rahimahullahu ta’ala.

Suatu hari Fudhail bin 'Iyadh bertemu dengan seorang orang tua dan bertanya kepadanya, “Berapa usiamu yang telah engkau lalui?” Orang tua itu menjawab, “60 tahun!”.

Fudhail lantas berkata, “Itu berarti semenjak 60 tahun perjalanan hidupmu menuju Rabbmu, maka kini engkau sudah hampir sampai.”

Orang itu berkata, “Inna lillah wa inna ilaihi raji’un.” (Sesungguhnya kita adalah milik Allah dan sungguh kita akan kembali kepadaNya) -seakan akan ia mengatakan, bahwa semua kita memang akan kembali kepada Allah.

“Apa engkau memahami maksud kalimat itu?” tanya Fudhail. Ia lalu melanjutkan, “Maksud perkataanmu, ‘Aku adalah hamba milik Allah, dan akan kembali kepadaNya’, ialah :

Siapa yang menyadari bahwa dia adalah hamba Allah dan akan kembali kepada-Nya; maka sadarilah bahwa ia pasti akan diberdirikan di hadapan pengadilan Allah. Dan bila ia menyadari bahwa ia akan diberdirikan di hadapan pengadilan Allah; maka hendaknya dia menyadari bahwa ia pasti akan ditanya (dimintai pertanggungjawaban atas amal perbuatannya).

Dan kalau ia sudah menyadari bahwa ia akan ditanya; maka hendaknya ia mempersiapkan jawaban untuk pertanyaan tersebut.”

Orang itu berkata, “Bila demikian, apa yang bisa dilakukan (adakah jalan keluar)?”

Fudhail menjawab, “Mudah saja!”

“Perbaikilah sisa umurmu yang ada, niscaya dosa-dosa yang telah berlalu akan diampuni.

Namun, jika kamu terus merusak umurmu yang masih tersisa, maka kamu akan dituntut atas dosa yang dahulu dan dosa yang sekarang.”

Kisah ini membawa pesan universal yang melampaui ruang dan waktu. Dalam usia berapa pun kita berada, ada satu pertanyaan yang harus dijawab dengan jujur: apa yang telah kita siapkan untuk kehidupan setelah dunia?

Dalam dunia yang mengagungkan produktivitas, efisiensi dan hasil instan, pertanyaan semacam ini sering dianggap sebagai gangguan atau penghambat motivasi. Namun, justru di situlah pentingnya kisah ini diangkat kembali. Ia menghadirkan dimensi spiritualitas dan tanggung jawab etis dalam keseharian kita. Hidup bukan hanya soal “mengisi waktu,” tapi soal “mengisinya dengan apa.”

Menariknya, ketika lelaki tua itu bertanya, “Adakah jalan keluar?” Fudhail tidak memberi jawaban yang berbelit. Ia mengatakan, “Berbuat baiklah di sisa umurmu yang ada.” Ini adalah pesan harapan: bahwa tak peduli seberapa panjang jalan kelam yang telah dilalui, selalu ada peluang untuk kembali, untuk memperbaiki, untuk menjadi lebih baik. Namun, harapan ini bukanlah undangan untuk menunda. Sebab jika dosa terus berlanjut, maka akumulasi kesalahan itulah yang kelak menjadi beban paling berat.

Di tengah semakin menipisnya kesadaran spiritual dalam masyarakat kita—bahkan kadang di antara para pemimpin, pendidik, dan tokoh agama—kisah Fudhail ini mestinya menjadi cermin. Ia mengingatkan bahwa pertanggungjawaban moral bukan hanya milik akhirat. Ia mulai dari sini, dari setiap keputusan yang kita ambil hari ini.

Kisah ini tak sekadar menyentuh hati, tetapi menggugah akal. Bahwa hidup yang bermakna bukanlah hidup yang panjang usia semata, tetapi yang penuh dengan kesadaran untuk mempersiapkan jawaban. Dan kita semua sedang menuju ke sana.

Rukman AR Said | Wakil Dekan II FUAD UIN Palopo

AYO KULIAH DI UIN PALOPO!

Apa Reaksi Anda?

like

dislike

love

funny

angry

sad

wow