Siapa Peduli pada Buruh? Kritik Ekonomi dari Kartun SpongeBob

Kutipan Squidward itu sejatinya menampar wajah kita: “Selama kenyamanan tersedia, siapa peduli?”
Opini | hijaupopuler.id
Dalam salah satu episode serial SpongeBob & SquarePants, tokoh Squidward dengan sinis berkata, “Tak ada yang peduli pada nasib buruh, selama mereka mendapatkan kepuasan secara instan.”
Kutipan sederhana dari film kartun untuk anak-anak. Namun sesungguhnya mengandung kritik sosial-ekonomi yang sangat dalam—bahkan lebih tajam daripada banyak seminar ekonomi yang hanya berhenti pada angka statistik.
Kita hidup dalam rezim konsumerisme instan, dimana masyarakat diajak (atau lebih tepatnya ditarik paksa) untuk selalu ingin cepat, murah dan nyaman.
Layanan antar kilat, diskon besar-besaran, konten tanpa henti—semuanya tampak menggembirakan. Tapi siapa yang bekerja di balik layar itu semua?
Buruh gudang yang dipaksa kerja 14 jam tanpa jaminan, kurir yang dibayar di bawah UMR, redaktur media yang diberhentikan karena digantikan AI.
Ekonomi Islam maupun ekonomi kerakyatan, tidak membenarkan kenyamanan segelintir orang dibangun di atas penderitaan banyak orang. Dalam pandangan penulis sebagai ekonom yang berpegang pada keadilan sosial, ini adalah bentuk baru kolonialisme ekonomi, hanya saja kini bukan oleh bangsa asing, melainkan oleh sistem algoritma dan kapital yang menjelma dalam layar smartphone kita.
Kutipan Squidward itu sejatinya menampar wajah kita: “Selama kenyamanan tersedia, siapa peduli?” Kalimat ini mencerminkan hilangnya dimensi moral dalam ekonomi pasar bebas, dimana buruh tidak lagi dilihat sebagai manusia, tetapi hanya angka dalam ongkos logistik.
Dalam sistem ini, harga murah sering kali adalah cermin dari harga yang mahal yang dibayar oleh buruh—dalam bentuk lelah, lapar dan kehilangan martabat.
Maka pertanyaannya bukan hanya: Bagaimana menciptakan produk yang murah dan cepat? Tapi lebih dalam: Apakah kenyamanan kita dibangun dengan cara yang adil? Apakah harga murah hari ini harus dibayar dengan pengorbanan pekerja yang semakin tak terdengar suaranya?
Sebagaimana penulis selalu tekankan: “Ekonomi tidak hanya soal efisiensi dan pertumbuhan, tapi tentang keberpihakan dan keadaban.”
Jika tokoh seperti Squidward saja mampu menggambarkan paradoks ini dengan jelas, maka kita—kaum intelektual, pengambil kebijakan dan umat beriman—tak punya alasan untuk diam.
Dr Adzan Noor Bakri SESy MESy | Dosen, Korpus Abdimas LP2M IAIN Palopo
Apa Reaksi Anda?






