Kapitalisme di Hari Kemenangan

Perayaan idul fitri dengan cara kapitalistik ugal-ugalan, apa yang kita harap menangkan?
Opini | hijaupopuler.id
Idul fitri adalah hari raya terbesar dalam sejarah Islam dan pelaksanaannya terjadi hampir secara serentak di belahan dunia muslim manapun. Umat muslim sedunia merayakan hari ini dengan gegap gempita dan penuh suka cita tentunya.
Idul fitri ini sekaligus adalah hari pertunjukan solidaritas kemanusiaan yang secara simbolik begitu besar. Sebab di dalamnya kegiatan saling bermaaf-maafan memuncak dan terjadi dalam skala besar.
Kendati demikian, alih-alih hari raya idul fitri menjadi momentum solidaritas kemanusiaan, tanpa sadar kapitalisme pelan-pelan merasuki hari besar Islam ini dan memanfaatkannya untuk keuntungan maksimal.
Ia (kapitalisme) memainkan skemanya, membentangkan jeratnya ke setiap titik-titik strategis, tak hanya pasar dan tempat-tempat jualan, tapi juga perilaku manusia. Di sini bagian menariknya. Gejalanya bermula dari budaya konsumerisme. Kapitalisme memanfaatkan konsumerisme masyarakat sebagai celah.
Budaya konsumerisme
Sebagaimana kita pahami bersama, puasa adalah pembuka jalan dalam rangka memetik kemenangan di hari yang fitri. Begitu kira-kira anggapan masyarakat mengenai idul fitri pada umumnya. Waktu sebulan penuh merupakan fase menyiapkan diri untuk menuju puncak kemenangan, yakni idul fitri.
Tapi, idul fitri tidak sesederhana yang kita bayangkan. Tahukah tidak, waktu sebulan saat berpuasa itu adalah masa konsumerisme itu bertumbuh dan berkembang. Hal ini salah satunya kita bisa lihat pada fenomena iklan-iklan sirup.
Di masyarakat kita, iklan-iklan sirup dianggap menjadi pertanda akan masuknya bulan suci ramadhan. Meski, sirup tersebut dan ramadhan sebenarnya tidak memiliki kaitan, namun masyarakat menganggapnya sebagai sesuatu yang benar. Keduanya tidak memiliki hubungan logis. Satu-satunya yang paling dekat adalah hubungan ekonomis. Sirup bukan penanda akan datangnya ramadhan, melainkan hanya jualan produk.
Yang membuat sirup ini eksis adalah peran iklan yang sangat massif, yang sengaja dimunculkan secara spesifik di waktu-waktu tertentu (menjelang ramadhan).
Produk iklan yang lain yang berseliweran selama ramadhan tanpa disadari membentuk pola konsumtif masyarakat. Sehingga apapun yang ditawarkan iklan akan menjadi sesuatu yang tidak sah rasanya apabila barang itu tidak dimiliki/konsumsi termasuk tidak afdolnya berbuka puasa tanpa es buah dari larutan sirup tersebut.
Menariknya, fenomena ini melanda semua golongan, tak hanya golongan menengah ke atas, tapi juga golongan menengah ke bawah. Atas nama menyambut kemenangan, seseorang tak tanggung-tanggung merogoh kocek dalam-dalam untuk pemenuhan belanja maksimal. Bahkan sampai harus rela meminjam uang demi melayani nafsu konsumerisme.
Sederhananya, konsumerisme adalah konsumsi maksimal suatu barang yang tidak berdasarkan pada urgensi dan kebutuhan utama, melainkan pada keinginan semata. Karenanya, daya konsumtif masyarakat kontemporer cenderung digunakan untuk menunjukkan kebanggaan dan status sosial seseorang.
Hal ini persis berlaku di bulan ramadhan yang lalu. Iklan sirup yang telah disinggung sebelumnya menjadi contoh bagaimana satu jerat kapitalisme bekerja.
Belum lagi, promo dan diskon menjelang idul fitri. Potongan harga dan promo barang selama Ramadhan dan menjelang idul fitri adalah skema para pelaku kapitalisme memancing nafsu konsumerisme masyarakat. Karena itu, seminggu menjelang lebaran, swalayan, toko-toko dan pasar akan sesak oleh pembeli.
Bukankah Rasulullah saw telah meneladankan cara berniaga dengan prinsip jujur, adil, arif dan menenkankan keuntungan secukupnya dan bagaimana beliau mewanti-wanti umatnya agar menjauhi perilaku berlebih-lebihan dalam aspek apapun, sebab hal itu akan menjadikan seseorang semakin dekat dengan kekufuran.
Idul fitri sebagai perayaan atas kemenangan melawan hawa nafsu tak lagi sakral. Kemenangan itu justru mengalami degradasi. Idul Fitri menjadi ajang perayaan atas simbol-simbol kebendaan bukan perayaan hakiki. Lantas, apa yang kita katakan sebagai kemenangan sebenarnya pernyataan atas kekalahan, kekalahan kita dalam membelenggu nafsu kebendaan dan ketidakmampuan kita melawan kemewahan.
Muhammad Suryadi R | Mahasiswa Pascasarjana Fakultas Tarbiyah IAIN Parepare
Apa Reaksi Anda?






