Etika Beragama dan Berinteraksi dalam Medsos: Menjaga Toleransi di Ruang Digital

Etika Beragama dan Berinteraksi dalam Medsos: Menjaga Toleransi di Ruang Digital

Dibutuhkan pendidikan literasi digital yang berbasis nilai-nilai keagamaan dari kecil. Sekolah, keluarga, dan lembaga agama juga harus aktif menanamkan kesadaran etika berinternet. Ilustrasi : Tech republic.

Opini | hijaupopuler.id

Di zaman digital sekarang ini, media sosial sudah jadi bagian krusial dari rutinitas harian jutaan orang. Setiap hari, orang-orang pakai platform ini buat ngobrol, share info, dan nyatakan pendapat. Tapi, kemudahan ini sering bikin sebagian orang lupa sama batasan etika, apalagi kalau urusannya sama agama dan interaksi sama pengguna lain di dunia maya.

Beragama itu seharusnya tidak hanya soal ritual ibadah, tapi juga sikap dan perilaku kita di dunia online. Nilai-nilai keagamaan kayak jujur, santun, dan saling hormat harus tetap dijaga, termasuk pas lagi komentar atau share sesuatu di media sosial. Sayangnya, banyak yang tidak sadar kalau jejak digital kita itu nge-refleksikan akhlak dan karakter asli kita.

Di media sosial, siapa pun punya kebebasan buat bicara. Tapi, kebebasan itu bukan berarti tanpa batas. Banyak kasus di mana beda pandangan agama atau keyakinan bikin konflik dan kebencian muncul. Postingan yang menyakiti agama orang lain, entah sengaja atau tidak, bisa memicu perpecahan dan rusak nilai toleransi yang diajarin semua agama.

Etika beragama di media sosial seharusnya mengajarkan kita buat hati-hati dalam bicara dan bertindak. Sebelum nulis komentar atau share info, pikirkan dulu apakah itu mengandung manfaat atau malah bikin masalah. Prinsip simpel “pikir dulu baru klik” harus jadi kebiasaan biar tidak menyesal di kemudian hari.

Selain itu, penyebaran hoaks yang menyangkut sama isu agama jadi tantangan besar di dunia digital. Banyak orang langsung percaya info tanpa cek kebenarannya. Padahal, menyebarkan berita palsu tentang agama tidak hanya salah etika sosial, tapi juga langgar nilai moral dan ajaran agama sendiri.

Interaksi antar umat beragama di media sosial seharusnya merefleksikan semangat persaudaraan dan saling menghargai. Kalau lihat beda, jangan ditumbuhin kebencian, tapi rasa ingin paham. Dengan begitu, media sosial bisa jadi tempat dialog sehat, bukan arena debat yang bikin permusuhan.

Selain etika beragama, etika dalam interaksi juga perlu diperhatikan. Mengobrol di dunia maya butuh sopan santun selayaknya bicara langsung di dunia nyata. Pakai kata-kata kasar, hinaan, atau mempermalukan orang lain secara publik tidak pantas, meski dari balik layar.

Perilaku saling hormat juga berarti menerima beda pendapat. Tidak semua orang punya pandangan sama, terutama soal keyakinan dan kepercayaan. Tugas kita bukan memaksa orang ikut pandangan kita, tapi jaga harmoni di tengah keberagaman.

Media sosial juga bisa jadi alat buat dakwah dan menyebarkan kebaikan. Kalau dipakai bijak, platform ini bisa bantu menyebarkan nilai positif seperti kasih sayang, toleransi, dan kejujuran. Banyak tokoh agama yang manfaatkan media sosial buat kasih pencerahan dan motivasi spiritual ke pengikutnya dengan cara damai dan terbuka.

Tapi, perlu di perhatikan bahwa dakwah atau mengajak kebaikan di media sosial harus dilakukan dengan bijaksana. Tidak semua orang bisa menerima pesan agama dengan cara yang sama. Jadi, bahasa yang dipakai sebaiknya lembut, tidak menghakimi, dan tetap hormat sama keyakinan lain.

Kesadaran digital itu kunci penting buat jaga etika beragama dan interaksi di media sosial. Setiap pengguna perlu paham kalau dunia maya tidak bebas aturan. Apa yang kita tulis, bagikan, dan komentari punya dampak nyata ke hidup sosial dan keagamaan masyarakat luas.

Sebagai solusi, butuh pendidikan literasi digital yang berbasis nilai-nilai keagamaan dari kecil. Sekolah, keluarga, dan lembaga agama harus aktif tanamkan kesadaran etika berinternet. Dengan membiasakan diri buat saring info, hormat beda, dan sebar pesan kebaikan, media sosial bisa jadi ruang yang lebih sehat dan harmonis buat semua. Dengan begitu, etika beragama dan interaksi tidak hanya teori, tapi benar-benar dijalanin dalam keseharian di dunia digital.

Nurul Al-Fiah Maharani | Mahasiswi Prodi KPI FUAD UIN Palopo

Apa Reaksi Anda?

like

dislike

love

funny

angry

sad

wow