Kurikulum Cinta: Jembatan Menuju Ukhuwah, Nasionalisme Dan Toleransi

Menag RI Nasaruddin Umar, saat memperkenalkan konsep Kurikulum Cinta dalam acara Kolokium dan Bedah Buku di Auditorium Gedung Yustinus, Universitas Atma Jaya, Jaksel, pada Selasa (25/2/2025) baru-baru ini. Foto: kemenag.go.id
Opini | hijaupopuler.id
Belakangan ini, kurikulum 'cinta' ramai diperbincangkan. Banyak yang mengkritik, menganggapnya sebagai bentuk sekulerisme-liberal yang ingin menghapus klaim kebenaran agama. Ada juga yang khawatir kurikulum ini akan melahirkan sikap posesif atau bahkan merusak teologi agama.
Namun benarkah demikian? Mari kita lihat lebih dalam; kurikulum cinta justru bisa menjadi alat untuk memperkuat ukhuwah (persaudaraan), nasionalisme dan toleransi, tanpa harus mengorbankan nilai-nilai agama.
Apa itu kurikulum cinta?
Kurikulum cinta bukanlah tentang romantisme atau cinta buta. Ini adalah pendekatan pendidikan yang menekankan nilai-nilai kemanusiaan universal, seperti kasih sayang, empati, keadilan dan penghormatan terhadap perbedaan.
Tujuannya adalah menciptakan generasi yang tidak hanya cerdas secara akademis, tetapi juga memiliki hati yang tulus dan sikap yang menghargai sesama.
Namun tidak sedikit yang mencurigai kurikulum ini sebagai bagian dari agenda sekulerisme-liberal. Mereka khawatir kurikulum ini akan mengikis klaim kebenaran agama dan mempromosikan moderasi beragama secara berlebihan. Apakah kekhawatiran ini beralasan?
Cinta yang seimbang: tidak posesif, tidak juga abai terhadap nilai
Memang cinta tanpa batas bisa berbahaya. Cinta yang posesif bisa melahirkan ketergantungan, bahkan kekerasan. Namun kurikulum cinta tidak mengajarkan cinta yang buta. Sebaliknya, kurikulum ini mengajarkan cinta yang berlandaskan pada nilai-nilai kebenaran, keadilan dan kemanusiaan.
Dalam agama Islam misalnya, cinta kepada Allah swt dan Rasul-Nya adalah yang utama. Namun Islam juga mengajarkan cinta kepada sesama manusia, bahkan kepada alam semesta.
Kurikulum cinta bisa menjadi sarana untuk mengajarkan bagaimana mencintai tanpa menindas, menghormati perbedaan tanpa kehilangan identitas dan membangun hubungan harmonis tanpa mengorbankan prinsip.
Klaim kebenaran agama dan toleransi bisa berjalan beriringan
Salah satu kritik terhadap kurikulum cinta adalah anggapan bahwa kurikulum ini ingin menghilangkan klaim kebenaran agama. Padahal klaim kebenaran dalam agama tidak harus menjadi sumber kebencian. Justru klaim kebenaran itu bisa menjadi motivasi untuk berbuat baik dan mengajak orang lain pada kebaikan dengan cara yang santun.
Kurikulum cinta tidak bertujuan menghilangkan klaim kebenaran agama, melainkan mengajarkan cara menyikapi perbedaan dengan bijak. Misalnya dalam Islam ada prinsip "lakum dinukum waliyadin" (bagimu agamamu, bagiku agamaku). Prinsip ini mengajarkan umat Islam untuk menghormati keyakinan orang lain tanpa harus mengorbankan keyakinannya sendiri.
Tidak ada kerancuan teologis dalam kurikulum cinta
Kekhawatiran lain adalah bahwa kurikulum cinta ini akan menciptakan kerancuan teologis. Misalnya, apakah sekolah seminari, sekolah calon bhikkhu, atau pesantren harus mengubah teologi dasarnya agar lebih 'toleran?' Tentu tidak!
Kurikulum cinta tidak bertujuan mengubah teologi dasar agama-agama. Justru kurikulum ini dapat memperkuat pemahaman bahwa setiap agama mengajarkan nilai-nilai kebaikan yang universal.
Misalnya, semua agama mengajarkan tentang keadilan, kasih sayang dan menghormati sesama. Dengan memahami nilai-nilai universal ini, umat beragama justru dapat lebih menghayati ajaran agamanya sendiri.
Mencegah agnostik dan atheisme dengan nilai agama yang autentik
Ada juga kekhawatiran bahwa kurikulum cinta ini akan memicu agnostik dan atheisme. Padahal kurikulum ini justru bisa menjadi alat untuk memperkenalkan nilai-nilai agama secara lebih humanis dan relevan dengan zaman.
Salah satu alasan mengapa orang menjadi agnostik atau atheis adalah karena mereka melihat agama sebagai sesuatu yang kaku dan tidak relevan dengan kehidupan modern.
Kurikulum cinta atau mahabbah dapat membantu umat beragama memahami bahwa agama bukan hanya tentang ritual, tetapi juga tentang bagaimana berinteraksi dengan sesama manusia secara baik.
Dengan mengajarkan nilai-nilai agama yang autentik, kurikulum cinta justru dapat menjadi benteng terhadap sekulerisme yang meminggirkan peran agama.
Tujuan kurikulum cinta: membangun masyarakat yang harmonis
Lalu apa sebenarnya tujuan kurikulum cinta? Tujuannya adalah membangun generasi yang mencintai sesama tanpa kehilangan identitas agamanya. Kurikulum ini antara lain bertujuan untuk:
1. Memperkuat ukhuwah; baik ukhuwah islamiyah (persaudaraan sesama muslim) maupun ukhuwah insaniyah (persaudaraan sesama manusia).
2. Menanamkan nasionalisme; cinta tanah air adalah bagian dari iman. Kurikulum cinta dapat memperkuat rasa cinta terhadap bangsa dan negara.
3. Meningkatkan toleransi; bukan berarti mengorbankan klaim kebenaran agama, tetapi mengakui hak orang lain untuk menjalankan keyakinannya.
Kurikulum cinta dalam praktik
Bagaimana kurikulum cinta ini dapat diimplementasikan? Berikut beberapa contohnya:
1. Dialog antar agama; siswa diajak untuk berdialog dengan teman-teman dari agama lain, sehingga mereka bisa saling memahami dan menghormati.
2. Proyek kemanusiaan; siswa diajak untuk terlibat dalam proyek-proyek kemanusiaan, seperti membantu korban bencana atau mengunjungi panti jompo.
3. Pembelajaran universalitas; siswa diajarkan tentang nilai-nilai universal seperti keadilan, kasih sayang dan empati, yang diajarkan oleh semua agama.
Kesimpulan: kurikulum cinta sebagai peluang, bukan ancaman
Kurikulum cinta bukanlah alat sekulerisme-liberal, melainkan upaya untuk mengajarkan nilai-nilai universal yang diajarkan oleh semua agama. Dengan kurikulum ini, kita dapat memperkuat ukhuwah, nasionalisme dan toleransi tanpa mengorbankan keyakinan agama.
Tujuannya adalah membangun masyarakat yang harmonis, di mana perbedaan dihormati dan kebencian diminimalisir.
Mari kita lihat kurikulum cinta ini sebagai peluang, bukan ancaman. Peluang untuk menciptakan generasi yang tidak hanya cerdas, tetapi juga memiliki hati yang tulus dan sikap yang menghargai sesama. Dengan begitu, kita bisa mewujudkan dunia yang lebih damai dan penuh kasih sayang.
Dr Muhammad Ash-Shiddiqy ME | Dosen UIN Prof KH Saifuddin Zuhri Purwokerto, Jawa Tengah
Apa Reaksi Anda?






