Indonesia Darurat Penghulu, Antara Kekerasan Simbolik dan Ketimpangan Gender
Penghulu sangat berpotensi menjadi pihak yang bisa melakukan kekerasan simbolik terhadap masyarakat, khususnya terhadap kaum perempuan.
Hijaupopuler.id - Penghulu adalah sebutan bagi pejabat agama Islam yang berwenang melaksanakan perkawinan, talak, dan rujuk. Di Indonesia, penghulu merupakan bagian dari Kementerian Agama yang bertugas di Kantor Urusan Agama (KUA).
Penghulu memiliki peran penting dalam membina kehidupan beragama dan bermasyarakat, khususnya dalam hal pernikahan dan perceraian. Namun, belakangan ini, penghulu menjadi sorotan publik karena beberapa kasus kontroversial yang menimbulkan polemik. Salah satu kasus yang menghebohkan adalah penghulu di KUA Cibinong, Bogor, yang menikahkan seorang pria berusia 41 tahun dengan seorang gadis berusia 13 tahun.
Kasus ini menimbulkan reaksi keras dari berbagai pihak, termasuk Komnas Perempuan, Lembaga Perlindungan Anak, dan aktivis Hak Asasi Manusia (HAM). Mereka mengecam tindakan penghulu tersebut sebagai bentuk kekerasan terhadap anak dan pelanggaran terhadap undang-undang perlindungan anak.
Kasus lain yang juga menarik perhatian adalah penghulu di KUA Cilincing, Jakarta Utara, yang menolak menikahkan seorang pasangan karena sang calon mempelai wanita tidak memenuhi syarat administrasi. Syarat tersebut adalah surat keterangan belum menikah (SKBM) dari kelurahan setempat.
Namun, ternyata surat tersebut tidak bisa dikeluarkan karena sang calon mempelai wanita sudah pernah menikah sebelumnya dan belum memiliki surat cerai dari Pengadilan Agama. Akibatnya, pasangan tersebut harus menunda pernikahan mereka hingga mendapatkan surat cerai tersebut.
Kedua kasus di atas menunjukkan bahwa penghulu memiliki kekuasaan yang besar dalam menentukan nasib pernikahan seseorang. Penghulu bisa saja menikahkan seseorang tanpa memperhatikan aspek hukum, moral, dan kemanusiaan. Penghulu juga bisa saja menolak menikahkan seseorang dengan alasan administratif yang sebenarnya bisa diselesaikan dengan cara lain. Dengan demikian, penghulu menjadi pihak yang berpotensi melakukan kekerasan simbolik terhadap masyarakat, khususnya perempuan.
Kekerasan simbolik adalah bentuk kekerasan yang tidak bersifat fisik, tetapi bersifat psikologis, sosial, budaya, atau ideologis. Kekerasan simbolik dilakukan dengan cara memaksakan suatu nilai, norma, atau kepercayaan tertentu kepada orang lain tanpa mempertimbangkan hak dan kepentingan mereka.
Kekerasan simbolik seringkali tidak disadari oleh pelaku maupun korban karena dianggap sebagai bagian dari tradisi atau kebiasaan. Dalam konteks penghulu, kekerasan simbolik bisa terjadi dalam beberapa bentuk. Misalnya, penghulu bisa saja memaksakan syarat-syarat pernikahan yang tidak sesuai dengan hukum negara atau agama. Penghulu juga bisa saja memaksakan pilihan-pilihan hidup kepada pasangan yang hendak menikah atau bercerai. Penghulu juga bisa saja memperlakukan perempuan sebagai objek atau barang dagangan dalam proses pernikahan atau perceraian. Semua bentuk kekerasan simbolik ini tentunya merugikan masyarakat, khususnya perempuan.
Perempuan menjadi pihak yang paling rentan terhadap kekerasan simbolik dari penghulu karena mereka masih mengalami ketimpangan gender dalam berbagai aspek. Ketimpangan gender adalah ketidaksetaraan antara laki-laki dan perempuan dalam hal hak, kesempatan, akses, partisipasi, dan pengakuan. Ketimpangan gender masih terjadi di Indonesia karena adanya patriarki, yaitu sistem sosial yang memberikan kekuasaan dan otoritas lebih besar kepada laki-laki daripada perempuan.
Dalam konteks pernikahan dan perceraian, ketimpangan gender terlihat dari beberapa hal. Misalnya, perempuan masih dianggap sebagai pihak yang harus menuruti kehendak laki-laki dalam menentukan pasangan hidup. Perempuan juga masih dianggap sebagai pihak yang harus mengurus rumah tangga dan anak-anak, sementara laki-laki bebas berkarier dan bersosialisasi. Perempuan juga masih dianggap sebagai pihak yang harus tunduk dan patuh kepada suami, bahkan jika suami melakukan kekerasan fisik atau psikologis.
Perempuan juga masih dianggap sebagai pihak yang harus menerima poligami, talak, atau cerai tanpa hak yang setara dengan laki-laki. Oleh karena itu, Indonesia memang darurat penghulu. Penghulu tidak hanya menjadi pejabat agama yang melaksanakan pernikahan dan perceraian, tetapi juga menjadi agen kekerasan simbolik dan ketimpangan gender.
Penghulu menjadi pihak yang mengancam hak asasi manusia, khususnya hak-hak perempuan. Penghulu menjadi pihak yang menghambat pembangunan sosial, khususnya pemberdayaan perempuan.
Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan langkah-langkah konkret dari berbagai pihak.
Pertama, Kementerian Agama harus melakukan reformasi sistem penghulu. Reformasi ini meliputi peningkatan kualitas pendidikan dan pelatihan penghulu, penegakan kode etik dan standar pelayanan penghulu, serta pengawasan dan evaluasi kinerja penghulu. Reformasi ini bertujuan untuk meningkatkan profesionalisme, integritas, dan akuntabilitas penghulu.
Kedua, masyarakat sipil harus melakukan advokasi dan edukasi kepada masyarakat. Advokasi ini meliputi penyebarluasan informasi tentang hak-hak pernikahan dan perceraian, pengaduan dan bantuan hukum bagi korban kekerasan simbolik dari penghulu, serta kampanye dan aksi protes terhadap praktik-praktik penghulu yang merugikan masyarakat. Edukasi ini meliputi penyuluhan tentang nilai-nilai kesetaraan gender, dialog antaragama dan antarbudaya tentang pernikahan dan perceraian, serta pemberdayaan ekonomi dan sosial bagi perempuan.
Ketiga, media massa harus melakukan kontrol sosial dan kritik konstruktif kepada penghulu. Kontrol sosial ini meliputi peliputan dan investigasi tentang kasus-kasus kekerasan simbolik dari penghulu, pemberitaan dan opini tentang dampak-dampak negatif kekerasan simbolik dari penghulu bagi masyarakat, serta pemantauan dan laporan tentang perkembangan reformasi sistem penghulu. Kritik konstruktif ini meliputi saran dan masukan tentang cara-cara meningkatkan kualitas pelayanan penghulu, inspirasi dan contoh tentang praktik-praktik penghulu yang baik dan benar, serta apresiasi dan penghargaan kepada penghulu yang berprestasi.
Dengan langkah-langkah tersebut, diharapkan Indonesia bisa keluar dari kondisi darurat penghulu. Diharapkan Indonesia bisa memiliki penghulu yang tidak hanya berwenang melaksanakan pernikahan dan perceraian, tetapi juga berperan dalam membina kehidupan beragama dan bermasyarakat yang harmonis, adil, dan sejahtera.
Diharapkan Indonesia bisa memiliki masyarakat yang tidak hanya taat kepada agama dan budaya mereka, tetapi juga menghormati hak-hak asasi manusia, khususnya hak-hak perempuan.
Diharapkan Indonesia bisa memiliki pembangunan sosial yang tidak hanya mengandalkan sumber daya alam dan manusia mereka, tetapi juga memperhatikan nilai-nilai kesetaraan gender.
Penulis: Adzan Noor
Apa Reaksi Anda?