Sejarah Bukan Milik Penguasa, Tapi Milik Rakyat

Sejarah Bukan Milik Penguasa, Tapi Milik Rakyat
Sejarah Bukan Milik Penguasa, Tapi Milik Rakyat

Sudah terlalu lama bangsa ini dimanipulasi oleh sejarah versi penguasa dan harus dipaksa mengenal bangsanya melalui kacamata penguasa.

Opini | hijaupopuler.id

Penulisan ulang sejarah memicu kontroversi sekaligus mendapat respons positif publik Indonesia. Proyek yang dikomandoi Fadli Zon ini menurut beberapa sumber melibatkan 120 sejarawan dari berbagai universitas di Indonesia. Kendati produk penulisan sejarah ini nantinya didedikasikan dalam rangka menyambut 80 tahun kemerdekaan Indonesia, namun sesungguhnya gagasan ini menyisakan ruang perdebatan di mana-mana.

Pasalnya, penulisan sejarah yang digagas Kementerian Kebudayaan ini terkesan terburu-buru dan sangat dipaksakan. Belakangan koalisi masyarakat sipil yang berasal dari aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) dan sejarawan menyatakan menolak gagasan ini dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama Komisi X DPR RI.

Kelompok yang tergabung dalam AKSI (Aliansi Keterbukaan Sejarah Indonesia) ini berpendapat bahwa gagasan penulisan sejarah resmi versi negara ini sangat rentan dimanipulasi untuk kepentingan penguasa.

Penyematan istilah sejarah resmi dalam proyek tersebut memunculkan makna sebagai tafsir tunggal, sehingga memunculkan kekhawatiran penulisan sejarah ini akan menjadi alat legitimasi kekuasaan dan sangat berpotensi disalah fungsikan menjadi alat propaganda politik kekuasaan.

Proyek yang Berulang

Ketika gagasan penulisan sejarah resmi Indonesia oleh Kementerian Kebudayaan mengemuka, ingatan publik refleks tertuju pada penulisan sejarah Indonesia ala Orde Baru. Penulisan sejarah Indonesia yang dikoordinir oleh Sartono Kartodirdjo ini kelak akan menjadi buku standar sejarah nasional Indonesia. Buku yang terdiri dari enam jilid ini adalah produk sejarah setelah Orde Baru yang di dalamnya berisi narasi dan peristiwa sejarah yang dipenuhi oleh intrik dan peristiwa heroik pasukan militer.

Sekilas tidak tampak kejanggalan, namun akan sangat kelihatan bagaimana Orde Baru mengorkestrasi berbagai peristiwa dalam naskah. Sejarawan telah mengungkap bagaimana Soeharto berhasil dengan baik menanamkan citra kekuasaannya melalui narasi perjuangan militer yang ditulis dalam naskah bikinannya.

Penguasa Orde Baru menanamkan peristiwa masa lalu ke dalam ingatan kolektif masyarakat sesuai kepentingannya. Sangat kelihatan bagaimana Soeharto ingin mengontrol masa lalu. Karenanya, menulis ulang sejarah adalah bagian dari rencana kembali berkuasa di masa mendatang.

Beberapa fragmen dan narasi sejarah yang berbelok misalnya terdapat pada bagian anti-komunis, de-soekarno-isasi, serta peran mencolok militer. Jejak kepemimpinan Sukarno dalam naskah ditulis begitu tidak adil. Sukarno dipreteli habis-habisan. Ia bahkan dituduh sebagai penyebab utama atas meletusnya peristiwa pemberontakan yang terjadi kisaran 1960 hingga meletuskan peristiwa G30S/PKI 1965.

Walhasil, Soeharto dalam sejarah dikisahkan sebagai tokoh besar yang telah menjadi pahlawan bangsa yang menyelamatkan Indonesia dari perpecahan, menumpas PKI, mendapatkan gelar Bapak Pembangunan dan Bapak Ekonomi.

Sejarah resmi, atau apa pun namanya, jika masih ditulis oleh negara dan antek-anteknya bukan tidak mungkin akan memantik berbagai tafsiran dan itu menciptakan tarikan perdebatan yang begitu panjang.

Karena itu, penulis berpendapat bahwa negara menulis ulang sejarah bukan hanya tidak tepat, tapi melampaui tugas negara. Tugas negara sebenarnya adalah mengumpulkan pemikir, peneliti dan sejarawan dan menyediakan fasilitas dan anggaran untuk mereka menulis sejarah.

Dengan begitu, sejarah akan berfungsi sebagai sumber pengetahuan, bukan lagi alat kekuasaan penguasa untuk melegitimasi kekuasaan di masa yang akan datang.

Sejarah adalah Milik Rakyat

Adagium bahwa sejarah adalah milik para pemenang tidak bisa dibenarkan sepenuhnya. Membedah frasa 'pemenang' dalam adagium tersebut menggunakan teori kekuasaan akan bermakna hegemoni dan penundukan. Sejarah hegemoni dan penundukan selalu berakhir tragis, yang mana pihak yang kalah akan dikuasai oleh pihak yang menang baik secara fisik maupun secara pikiran.

Karena itu, siapa pun pemenang dalam konteks tersebut adalah mereka yang telah memenangkan pertarungan dengan cara penaklukan baik melalui invasi maupun kolonisasi. Dengan demikian, frasa ‘pemenang’ dalam adagium tersebut akan berbau hegemonik, sehingga narasi sejarah yang muncul berperspektif sangat kolonial.

Begitu juga dengan istilah sejarah milik penguasa harus kita tolak. Di tempat mana pun di dunia ini, orang sudah mafhum bahwa sejarah yang ditulis oleh penguasa adalah sejarah yang penuh manipulasi dan bangsa ini sudah membuktikannya.

Sudah terlalu lama bangsa ini dimanipulasi oleh sejarah versi penguasa dan harus dipaksa mengenal bangsanya melalui kacamata penguasa, sehingga yang terjadi adalah anak bangsa tidak mampu membaca dengan jernih sejarahnya sendiri. 

Sejarah bersumber dari rakyat, karenanya sejarah adalah milik rakyat dan milik kita semua. Sejarah versi bukan penguasa dan bukan versi pemenang, banyak yang telah ditulis oleh peneliti dan sejarawan dan menurut penulis sejarah versi di luar penguasa dan pemenang lebih akurat, independen dan kredibel. Pertanyaannya kemudian adalah menulis ulang sejarah resmi Indonesia untuk saat ini urgensinya apa?

Selain itu, penulisan sejarah oleh Kementerian Kebudayaan ini perlu tinjauan ulang selain karena durasi waktu yang terkesan sangat terburu-buru juga terdapat beberapa fragmen yang dikaburkan serta proyek ini tidak diuji secara publik.

Penulisan sejarah yang independen sebaiknya tidak hanya berisi tentang kisah-kisah orang penting dan menulis cerita yang baik-baik saja, tapi juga perlu memasukkan peristiwa lainnya seperti peristiwa pelanggaran HAM berat yang pernah terjadi di era Orde Baru yang tidak dimasukkan ke dalam sejarah resmi yang ditulis Kementerian Kebudayaan.

Kegagalan dan peristiwa kelam yang pernah terjadi di masa lalu mesti dimasukkan sebagai suatu peristiwa bersejarah sehingga masyarakat Indonesia bisa belajar dari masa lalu agar tidak terulang di masa yang akan datang. Proyek yang melibatkan tak kurang dari 120-an orang ahli dan sejarawan ini belum sepenuhnya menjamin kuatnya substansi yang ada di dalamnya. 

Penting pelibatan publik dan banyak pihak untuk mengkaji dan menguji versi sejarah ini secara transparan. Tanpa itu, rencana penulisan sejarah Indonesia oleh Kementerian Kebudayaan ini akan menjadi sejarah versi penguasa seperti yang lalu-lalu. Bedanya adalah versi sejarah ini dilengkapi dengan sejarah presiden lainnya, entah dimanipulasi atau tidak. Wallahua’lam.

Muhammad Suryadi R | Mahasiswa Pascasarjana IAIN Parepare, Sekretaris PC GP Ansor Kabupaten Barru & Peneliti Parametric Institut

Apa Reaksi Anda?

like

dislike

love

funny

angry

sad

wow