Bijak di Hadapan Kecerdasan Artificial Intelligence

Bijak di Hadapan Kecerdasan Artificial Intelligence

Ilustrasi Kecerdasan Artificial Intelligence

Hijaupopuler.id | Dalam kurun waktu dua dekade terakhir, dunia menyaksikan lompatan teknologi yang belum pernah terjadi sebelumnya. Salah satu pencapaian terbesar adalah lahirnya Artificial Intelligence (AI), atau kecerdasan buatan. 

Teknologi ini telah merambah hampir semua lini kehidupan, dari industri, kesehatan, pendidikan, hingga seni dan jurnalistik. Namun, seiring dengan segala potensi yang ditawarkannya, AI juga membawa pertanyaan besar, bagaimana kita bersikap bijak dalam menghadapinya?

AI bukan sekadar alat bantu, ia kini hadir sebagai entitas yang mampu "belajar," mengambil keputusan, bahkan menggantikan fungsi manusia dalam beberapa pekerjaan. 

McKinsey Global Institute, memperkirakan bahwa AI dapat menambah nilai ekonomi global hingga $4,4 triliun per tahun. Angka ini tentu menggiurkan. Namun, di balik potensi tersebut, tersimpan kekhawatiran, apakah manusia akan kehilangan relevansi?

Profesor Yuval Noah Harari dalam berbagai tulisannya menyebut bahwa AI bukan hanya akan menggantikan pekerjaan manual, tapi juga kemampuan kognitif manusia. 

Maka, tidak berlebihan jika muncul ketakutan akan era useless class, yaitu kelompok manusia yang kehilangan fungsi ekonomi karena digantikan mesin.

Salah satu keterbatasan utama AI adalah ketiadaan emosi, empati, dan intuisi moral. Di sinilah manusia harus mengambil peran sebagai "penjaga etika." Sebagai contoh, dalam dunia jurnalistik, AI bisa menulis berita, tetapi ia tidak memahami sensitivitas budaya atau implikasi moral dari informasi yang disebarkan. Maka, tanggung jawab tetap berada di tangan manusia.

Menurut teori Techno-Ethics yang dikembangkan oleh Rafael Capurro, teknologi harus dilihat tidak hanya dari aspek fungsi, tetapi juga nilai-nilai etis yang melandasinya. AI harus diarahkan untuk melayani kemanusiaan, bukan menggantikannya.

Sikap bijak terhadap AI dimulai dari literasi digital. Masyarakat tidak cukup hanya bisa menggunakan teknologi, tapi juga harus memahami bagaimana teknologi bekerja dan dampaknya. 

UNESCO mencatat pentingnya Digital Literacy sebagai bagian dari keterampilan abad ke-21, yang mencakup kemampuan berpikir kritis terhadap informasi, memahami algoritma, hingga kesadaran akan privasi data.

Sementara itu, para pembuat kebijakan juga dituntut untuk menyusun regulasi yang adil dan melindungi manusia dari dominasi teknologi. 

Uni Eropa melalui AI Act (2024) mulai mengatur klasifikasi risiko AI, memastikan bahwa sistem AI yang berisiko tinggi harus memenuhi standar transparansi dan pengawasan manusia.

AI memang cerdas, tapi ia tidak bisa bermimpi. Ia tidak merasakan harapan, cinta, atau keadilan. Maka, sikap bijak dalam menghadapi AI bukan sekadar soal menguasai teknologi, tetapi menjaga nilai-nilai kemanusiaan yang membuat kita tetap manusia.

Alih-alih takut, mari bersikap kritis dan visioner. AI bukan akhir dari peradaban manusia, tetapi peluang baru untuk menjadi lebih manusiawi dengan tetap menjadi tuan atas mesin, bukan budaknya.

Apa Reaksi Anda?

like

dislike

love

funny

angry

sad

wow