DEMA UIN Palopo Gelar Bedah Buku Tahajud Sang Aktivis
Ibadah itu urusan privat, tidak bisa menjadi standar kebaikan seseorang. Terlalu banyak orang yang tampak shaleh di depan, tetapi menjadi pecundang kemanusiaan di belakang.
Palopo | hijaupopuler.id
Dewan Eksekutif Mahasiswa (DEMA) Universitas Islam Negeri (UIN) Palopo menggelar kegiatan bedah buku berjudul Tahajud Sang Aktivis karya Dr H Saprillah MSi, yang juga merupakan Kepala Balai Litbang Agama Kota Makassar.
Bedah buku berlangsung Senin (15/9/2025), dimulai sekira pukul 09.30 Wita, bertempat di Aula Mini Dekanat Fakultas Syariah lantai 3 di kampus 1 jalan Agatis Kelurahan Balandai Kecamatan Bara.
Buku Tahajjud Sang Aktivisi yang dibedah ini menghadirkan langsung penulisnya, Dr H Saprillah MSi, sebagai narasumber utama.
Dua akademisi sekaligus aktivis muda UIN Palopo, yakni Dzul Fiqri SPd MPd dan Muhammad Syaukani SThI MThI, tampil sebagai pembedah buka. Sementara Rahmida Reski Majid, akademisi muda UIN Palopo yang dikenal sebagai seorang aktivis pergerakan perempuan bertugas memandu jalannya kegiatan.
Hadir Wakil Dekan III Bidang Kemahasiswaan dan Kerja Sama Fakultas Syariah, Muhammad Darwis SAg MAg, dan beberapa dosen dan tenaga kependidikan (Tendik).
Ketua DEMA UIN Palopo, M Dirga Saputra juga tampak hadir bersama beberapa pengurus Lembaga Kemahasiswaan, serta para mahasiswa dari berbagai Program Studi (Prodi), yang memenuhi ruangan Aula Mini tersebut.
Dosen UIN Palopo lainnya, Reski Azis SSosI MPdI, yang didaulat menyampaikan testimoni menyampaikan bahwa kegiatan ini menjadi sarana mengupas gagasan karya Dr Saprillah. Ia juga menilai para pembedah yang dihadirkan pas dengan tema utama buku yang dibahas karena menghadirkan aktivis kampus.
“Hari ini kita membedah buah pikir dan karya beliau, sebuah buku yang berjudul Tahajud Sang Aktivis. Dua pembedah kita ini sama-sama aktivis kampus yang kini meniti karier akademik di kampus,” ujarnya.
Pembedah pertama, Dzul Fiqri, mengawali ulasannya dengan membacakan kutipan dalam buku yang menurutnya sarat makna. Ia menilai novel setebal 317 halaman ini bukan sekadar kisah seorang pemuda bernama Zaki yang tumbuh di lingkungan religius ortodoks, tetapi juga perjalanan panjang seorang aktivis yang penuh dengan pergulatan spiritual.
“Setelah membaca buku ini, banyak hal yang membuat saya terkesima, terutama bagaimana aktivisme dan spiritualitas bisa berjalan beriringan,” ungkapnya.
Adapun pembedah kedua, Muhammad Syaukani, melihat dari sudut pandang perdebatan ideologis yang terjadi antara tokoh utama, Zaki, dengan kakeknya yang seorang tokoh tarekat kharismatik. Menurutnya, bagian ini memperlihatkan konflik antara tradisi, spiritualitas dan pandangan modern. Ia juga mengutip kalimat Zaki yang kuat dalam novel tersebut.
“Ibadah itu urusan privat, tidak bisa menjadi standar kebaikan seseorang. Terlalu banyak orang yang tampak shaleh di depan, tetapi menjadi pecundang kemanusiaan di belakang,” ucapnya.
Sementara penulis buku, Saprillah, dalam penyampaiannya mengungkapkan betapa sangat pentingnya gerakan literasi di tengah masyarakat hari ini. Ia menyebut, budaya membaca adalah pondasi peradaban.
“Kalau bangsa kita tidak membiasakan diri dengan literasi, maka yang lahir adalah masyarakat pemarah, reaktif dan miskin kedalaman berpikir,” jelasnya.
Ia juga mengapresiasi kedua pembedah yang telah memberi sudut pandang kritis terhadap karyanya.
Acara nampak semakin hidup dengan sesi diskusi interaktif antara penulis dan para peserta. Bedah buku kemudian ditutup dengan pernyataan reflektif dari para pembedah yang menyuarakan semangat yang sama, “Spiritualitas yes, aktivisme yes!” Pernyataan tersebut disambut tepuk tangan meriah dari hadirin.
Apa Reaksi Anda?






