Dilema Pendidik di Tengah Bayang Tindak Pidana Kekerasan Anak

Dilema Pendidik di Tengah Bayang Tindak Pidana Kekerasan Anak
Dilema Pendidik di Tengah Bayang Tindak Pidana Kekerasan Anak

Pendidikan karakter tidak selalu lahir dari hukuman, melainkan dari ketulusan dan keteladanan moral. Foto : tangerangkota.go.id dan penulis.

Opini | hijaupopuler.id

Dalam beberapa tahun terakhir, sejumlah pendidik di Indonesia menghadapi situasi dilematis yang cukup menyayat hati. Ketika niat tulus seorang guru untuk menegur atau mendisiplinkan peserta didik dilakukan dengan cara fisik—meskipun ringan dan bermaksud mendidik—justru berujung pada pelaporan pidana atas tuduhan kekerasan terhadap anak.

Kasus seperti ini seolah memperlihatkan benturan antara niat mendidik dengan norma hukum yang kian ketat menafsirkan perlindungan anak.

Padahal, dalam konteks pendidikan tradisional Indonesia, tindakan “tegur fisik ringan” kadang dianggap wajar dan bahkan efektif untuk membentuk karakter disiplin. Namun di era modern, paradigma itu berubah. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak secara tegas menyebut bahwa setiap bentuk kekerasan, baik fisik maupun psikis, terhadap anak adalah tindak pidana.

Di sinilah dilema itu muncul—guru berada di antara niat moral untuk memperbaiki perilaku dan kewajiban hukum untuk tidak menyentuh fisik anak didiknya.

Guru sejatinya bukan pelaku kekerasan, melainkan penjaga peradaban. Tetapi dalam sistem hukum positif, mens rea (niat baik) tidak selalu menghapus actus reus (perbuatan). Artinya, meski seorang pendidik bermaksud mendidik, jika perbuatannya memenuhi unsur kekerasan menurut undang-undang, maka secara hukum ia bisa dijerat pidana.

Di sisi lain, tidak bisa dipungkiri, pendidikan tanpa disiplin yang tegas kerap gagal menanamkan nilai tanggung jawab dan hormat kepada otoritas.

Persoalan ini membutuhkan pendekatan yang bijak—baik oleh aparat penegak hukum, lembaga pendidikan, maupun masyarakat. Hukum harus dilihat bukan sekadar alat penghukum, tetapi juga sebagai sarana edukatif.

Dalam konteks ini, perlu ada ruang dialog dan mediasi antara pihak sekolah dan orang tua sebelum perkara dilaporkan ke ranah pidana. Pendekatan restoratif (restorative justice) dapat menjadi solusi, di mana fokusnya bukan menghukum guru, tetapi memulihkan hubungan antara pendidik dan peserta didik.

Sebagai pendidik, kita perlu menyesuaikan metode pembinaan sesuai perkembangan zaman. Teguran keras tak lagi perlu dalam bentuk fisik, tetapi bisa diganti dengan pendekatan psikologis, keteladanan, atau sistem reward and punishment yang manusiawi.

Pendidikan karakter tidak selalu lahir dari hukuman, melainkan dari ketulusan dan keteladanan moral.

Pada akhirnya, dilema pendidik yang berniat baik namun terjerat hukum harus menjadi cermin bersama. Bahwa mendidik adalah seni menyeimbangkan kasih sayang dan ketegasan—bukan antara cambuk dan cinta, tetapi antara aturan dan nurani.

Muh Akbar SH MH | Dosen, Wakil Dekan Bidang AUPK Fakultas Syariah UIN Palopo. Aktif menulis opini dan kajian tentang hukum, etika profesi, dan reformasi institusi penegak hukum.

Apa Reaksi Anda?

like

dislike

love

funny

angry

sad

wow