Inklusivisme Seorang Kyai Via Pisang Ijo dan Bakwan

Alm. KH. Zainuddin Samide
Kolom | Hijaupopuler.id
Setiap kali saya menghentikan kendaraan di depan kios pisang ijo milik Hajjah Sumi, ada rasa gelisah yang menggelayut di hati. Bukan karena antrean panjang, melainkan karena satu sosok—Pak Kyai.
"Jangan-jangan sudah didahului lagi sama Pak Kyai," gumam saya, setengah cemas, setengah berharap.
Kios sederhana itu telah menjadi tempat pertemuan tak resmi bagi kami, dua penggemar setia kudapan pisang ijo buatan Hajjah Sumi. Benar saja, langkah pertama saya di pintu langsung disambut suara tawa riang yang begitu khas.
"Ada memang firasatku kalau mauki makan pisang ijo. Makanya ku gas motorku biar tiba duluan!" ucap Pak Kyai sambil tertawa lebar, menikmati semangkuk pisang ijo dengan penuh gembira. Sepiring kudapan hijau, putih, dan merah itu selalu menjadi alasan bagi kami untuk bertemu.
Kontrak tak tertulis kami sederhana: siapa yang terakhir datang, dia yang mentraktir. Tetapi, aturan itu tak pernah benar-benar diterapkan. Kami lebih sering berlomba tiba lebih dulu ke kasir, sekadar untuk saling mengalah dalam kebaikan.
Setelah pisang ijo tandas, kami biasanya melanjutkan dengan bakwan goreng yang tersaji hangat. Di sinilah cerita mengalir, ringan namun penuh makna. Beda generasi, beda ilmu, beda sudut pandang—semua menyatu dalam obrolan santai yang sesekali diselingi renyahnya kunyahan bakwan.
Pak Kyai, dengan kebijaksanaannya, selalu tahu batas. Ia paham betul keluasan wawasan saya yang cetek, sehingga ia menyesuaikan cerita-ceritanya. Meski ringan, tetap ada hikmah yang disisipkan, dengan cara yang begitu halus dan tidak menggurui.
"Apa tong itu dicerita sama aji. Serunya le," Hajjah Sumi sering menimpali dengan tawa riang.
"Nostalgia lagi," jawab saya sambil menirukan gaya Pak Kyai saat membuka sesi cerita.
Pak Kyai Haji Zainuddin Samide adalah sosok inklusif sejati. Ia menjembatani perbedaan generasi dengan cara yang luar biasa. Kesakralan gelar "Kyai" ia lepaskan sejenak saat bersama saya. Ia memulai percakapan dengan sapaan akrab, “Hai anak muda,” dan selalu memberikan pandangan mendalam terhadap dinamika yang kami bicarakan.
Inklusivitas Pak Kyai menciptakan harmoni. Ia mampu menerima dan diterima, sebuah kualitas yang sulit ditemukan. Sosoknya adalah keajaiban—sederhana, ramah, dan mengayomi. Kadang, saya berpikir, "Apa asyiknya berbincang dengan seseorang yang begitu jauh perbedaannya?" Namun, durasi panjang obrolan kami, diiringi semangkuk pisang ijo dan beberapa bakwan, selalu membantah keraguan itu.
Pagi itu, Ahad, 19 Januari 2025, sekitar pukul 09.00, saya berencana singgah ke rumah Pak Kyai di Anggrek. Bubur santan dan barongko telah saya siapkan, menggantikan nasi kuning yang dulu biasa saya bawakan. Beberapa waktu terakhir, kesehatan beliau memang menurun drastis.
"Nda bisa mi ayah terlalu mengunyah, Kak," suara lirih Raehana, putri Pak Kyai, masih terngiang di kepala saya. Namun, kabar yang datang pagi itu mematahkan niat saya.
"Berpulang mi Pak Kyai Zainuddin Samide," ujar Pak Alamzah singkat. Jam menunjukkan pukul 09.39.
Kopi yang biasanya habis perlahan, tandas dalam beberapa tegukan. Saya segera bergegas ke rumah duka. Suasana sunyi menyambut kami di sana. Di dalam kamar, tubuh beliau telah terbujur kaku, dikelilingi tangis orang-orang terkasih.
Pak Kyai adalah lebih dari sekadar seorang guru atau pemimpin spiritual. Beliau adalah penghubung—sosok yang mampu menjembatani generasi, karakter, dan perbedaan dengan kehangatan. Dalam dunia yang penuh friksi, keberadaan orang seperti beliau sangatlah langka. Ia tak hanya memberi solusi, tetapi juga menghadirkan rasa nyaman dalam komunikasi.
Kini, saya hanya bisa bertanya, "Adakah Kyai se-inklusif itu menggantikan beliau? Siapa yang akan menemani saya makan pisang ijo dan bakwan sambil berbagi cerita?"
Selamat jalan, Pak Kyai Haji Zainuddin Samide.
Kenangan akan keramahanmu akan selalu terpatri. Semoga Allah SWT memberi kesempatan kita bertemu kembali. Kelak, kita akan berbagi cerita lagi, dengan sepiring pisang ijo dan bakwan yang sama asyiknya. Aamiin.
Amrul Aysar
Apa Reaksi Anda?






