Islam dan Budaya Populer di Era Digital, Antara Adaptasi dan Otentisitas
Jika kita bijak memilih tontonan, terus ingin belajar, dan menjaga niat baik dalam berinteraksi, maka dunia digital bisa menjadi tempat yang subur untuk menumbuhkan keimanan dan kebaikan serta nilai-nilai agama Islam. Ilustrasi : Antara Foto/Muhammad Iqbal.
Tren | hijaupopuler.id
Di era digital sekarang, agama tidak lagi hanya ditemukan di masjid atau majelis taklim, tetapi juga hadir di media sosial. Kadang kita bangun pagi, membuka ponsel, lalu menemukan wejangan atau nasehat singkat tentang sabar atau sedekah dari akun yang baru kita ikuti.
Islam kini hidup di layar-layar kecil, di antara notifikasi TikTok, YouTube, dan Instagram, menjadikannya terasa dekat dan hadir dalam keseharian, mulai dari gaya berpakaian, cara berbicara, film, hingga pilihan lagu di playlist.
Fenomena ini menunjukkan bagaimana agama beradaptasi dengan budaya populer, menciptakan bentuk keberagamaan baru yang lebih cair, personal, dan kadang juga komersial. Banyak anak muda menemukan inspirasi spiritual bukan lagi dari mimbar, melainkan dari video pendek, kutipan estetik, dan konten dakwah ringan yang muncul di For You Page mereka.
Konten Islami yang ringan serta cepat menyebar karena formatnya lebih cocok untuk generasi sekarang, seperti video pendek, caption singkat, atau quote estetik. Gaya penyampaian yang santai sering kali lebih efektif untuk anak muda sekarang daripada ceramah panjang di pagi atau sore hari.
Ini bukan berarti isinya selalu dangkal, ada juga sebagian pembuat konten yang sungguh-sungguh belajar dan menyajikan pesan bermakna. Namun, bentuknya memang jauh berbeda dari tradisi lama.
Di sisi lain, budaya populer juga telah memberi ruang bagi ekspresi baru. Misalnya, hijab sekarang dipadukan dengan fashion mainstream, lagu religi yang dikemas ulang jadi lebih modern agar lebih enak didengar, dan kajian agama juga muncul dalam format podcast.
Semua ini menunjukkan kreativitas. Di mana orang-orang mengisi ruang digital dengan bentuk ibadah dan identitas yang relevan dengan hidup mereka sekarang. Jadi, budaya populer dan Islam kadang saling melengkapi atau memperkaya, dan tidak selalu bertentangan.
Namun jangan lupa dan perlu digaris bawahi, dengan mudahnya akses dan viralitas tentu berpotensi merepotkan. Kalau yang viral hanya gaya lalu tanpa adanya substansi atau isi, pesan agama bisa jadi kehilangan makna kedalamannya.
Jadi perlu kepekaan dalam membedakan antara inspirasi yang benar-benar dapat membangun dan mana yang sekadar konten yang menarik perhatian tapi kosong makna. Sikap tabayyun atau kritis tetap penting. Meski kita tertawa pada video yang menghibur, perlu tetap bijak memilih mana yang pantas diikuti dan mana yang harus ditinggalkan.
Ada juga sisi ekonomi yang tak bisa diabaikan. Seperti produk halal, produk fashion, hingga konten berbayar yang mengubah cara orang menjalankan dan menampilkan agama. Beberapa orang merasa ini lebih mudah karena lebih banyak pilihan dan lebih banyak akses sedangkan yang lain khawatir agama jadi komoditas (barang jual beli). Kedua perspektif itu tidak bisa disalahkan, karena penting untuk mengamati tanpa langsung menghakimi (kritis).
Apa yang telah membuat semua ini menarik adalah kebebasan untuk memilih. Generasi sekarang lebih sering dan senang mengambil potongan-potongan dari banyak sumber seperti video, tulisan, dan lain sebagainya. Lalu merakit identitas religius atau ide mereka sendiri.
Di mana ada nilai positif di situ, karena agama menjadi sesuatu yang hidup dan relevan, bukan lagi warisan yang kaku. Tetapi proses “merakit” ini juga tentu menuntut tanggung jawab untuk menegakkan nilai-nilai agama yang benar bukan sekadar gaya.
Praktisnya itu bagaimana agar kita ini tetap solid secara spiritual di tengah arus budaya populer? Salah satu jawabannya sederhana yaitu tetap imbang. Nikmati bentuk-bentuk kreatif yang membuat kita tetap dekat dengan agama, tapi selalu lengkapi dengan bacaan yang mendalam, diskusi dengan orang yang paham, kritis, dan refleksi pribadi. Media sosial itu bisa jadi pintu masuk, maka jangan biarkan itu menjadi satu-satunya sumber kebenaran. Namun buat menjadi salah satunya.
Jadi bisa dibilang Islam di era digital tidak serta-merta menjadi kurang serius atau dangkal. Namun, ia hanya sedang mengalami perubahan bentuk dan lapangan tempat ia berinteraksi. Jika dulu berdakwah hanya disampaikan lewat mimbar masjid atau majelis taklim saja, kini pesan-pesan keislaman juga sudah mengalir lewat layar ponsel, seperti video singkat, hingga unggahan kreatif di media sosial.
Misalnya, banyak para ustaz, anak muda (konten kreator) di Indonesia yang membuat konten dengan gaya islami ringan misalnya di TikTok dan Instagram, seperti mengingatkan waktu salat, membahas akhlak, mengajak berbagi, atau membagikan kisah para Nabi dengan gaya santai namun tetap sopan dan baik. Walau terkadang ada yang menyampaikan dengan niat yang baik namun cara yang salah.
Hal sederhana seperti inilah yang bisa menunjukkan bahwa Islam tidak kehilangan maknanya. Namun, ia justru menemukan cara baru untuk tetap hidup di tengah arus modern dan budaya populer saat ini.
Di sinilah kita diuji sebagai pengguna digital atau lebih tepatnya penggunaan Medsos, apakah kita hanya menikmati hiburan, atau bisa memanfaatkan teknologi untuk menebar kebaikan dan belajar untuk menjadi pribadi yang lebih baik.
Jika kita bijak memilih tontonan, terus ingin belajar, dan menjaga niat baik dalam berinteraksi, maka dunia digital bisa menjadi tempat yang subur untuk menumbuhkan keimanan dan kebaikan serta nilai-nilai agama Islam, bukan malah sekadar menjadi ruang hiburan yang kosong makna atau tempat bersenang-senang saja.
Annisa Miftahul Jannah | Mahasiswi KPI FUAD UIN Palopo
Apa Reaksi Anda?
