Buruh di Simpang Jalan: Kala Keringat Manusia Dihadapkan Kecerdasan Mesin

Buruh di Simpang Jalan: Kala Keringat Manusia Dihadapkan Kecerdasan Mesin

Sistem ekonomi yang masih mengandalkan trickle-down logic terus menumpuk nilai tambah di tangan pemilik teknologi, sementara buruh yang tak memiliki akses terhadap peningkatan keterampilan kian terpinggirkan.

Opini | hijaupopuler.id

Hari Buruh tahun ini tidak sekadar diperingati dalam bayang-bayang stagnasi upah dan ketimpangan sosial, tetapi juga di tengah kecemasan baru: eksistensi Artificial Intelligence (AI) yang mulai menggantikan kerja-kerja manusia. 

Apa kabar buruh ketika kecerdasan buatan tak perlu gaji, tak perlu cuti, tak butuh jaminan sosial namun bisa bekerja 24 jam tanpa protes?

Paradoks semakin kentara: di satu sisi, buruh masih dihargai rendah dengan status kontrak yang tak pasti. Di sisi lain, perusahaan berlomba-lomba mengadopsi AI untuk “efisiensi”, bahkan dalam sektor-sektor yang dahulu sangat bergantung pada tenaga manusia. 

Maka lahirlah ancaman baru: pengangguran teknologi, di mana buruh tidak lagi diputus kontrak oleh manusia, tetapi digantikan oleh algoritma.

Di sinilah krisis struktural memuncak. Sistem ekonomi yang masih mengandalkan trickle-down logic terus menumpuk nilai tambah di tangan pemilik teknologi, sementara buruh yang tak memiliki akses terhadap peningkatan keterampilan kian terpinggirkan. 

Produktivitas naik, tapi pengangguran meningkat. Efisiensi tumbuh, tapi ketimpangan menganga.

Dalam perspektif ekonomi kerakyatan, ini adalah panggilan mendesak untuk reformasi arah pembangunan nasional. AI tidak boleh menjadi alat baru untuk mempercepat dehumanisasi tenaga kerja.

Teknologi harus dijinakkan menjadi alat pembebasan, bukan penyingkiran. Ini hanya mungkin terjadi jika negara berpihak: membangun literasi digital massal, menjamin upskilling bagi buruh, dan menciptakan ekosistem di mana AI melengkapi bukan enggantikan peran manusia.

Kesejahteraan buruh bukan harus menunggu sisa dari efisiensi teknologi, melainkan ditanam sebagai syarat utama keadaban teknologi itu sendiri. Karena pembangunan yang menyingkirkan manusia demi mesin, pada akhirnya bukanlah kemajuan melainkan kemunduran yang dibungkus dalam algoritma.

Buruh bukan lawan dari kemajuan. Tapi ketika kemajuan melupakan buruh, maka saat itulah kita harus mempertanyakan: untuk siapa peradaban ini dibangun?

Dr. Adzan Noor Bakri

Apa Reaksi Anda?

like

dislike

love

funny

angry

sad

wow