KDRT, Luka Sunyi di Balik Dinding Rumah

KDRT, Luka Sunyi di Balik Dinding Rumah
KDRT, Luka Sunyi di Balik Dinding Rumah

Rumah tangga yang damai dibangun di atas cinta, bukan kekuasaan. Setiap tindakan kekerasan, sekecil apa pun, adalah retakan dalam fondasi bangsa. Ilustrasi/foto : rri.co.id dan penulis.

Opini | hijaupopuler.id

Rumah seharusnya menjadi tempat paling aman bagi setiap manusia. Namun bagi ribuan perempuan di Indonesia, rumah justru menjadi ruang paling berbahaya. Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) bukan hanya tindakan kriminal, tetapi juga bentuk pengkhianatan terhadap nilai kemanusiaan, moral, dan agama.

Meski telah ada UU Nomor 23 Tahun 2004 dan berbagai lembaga perlindungan, fakta di lapangan menunjukkan luka yang belum sembuh. Data Simfoni-PPA mencatat ribuan kasus tiap tahun, dan itu baru yang dilaporkan. Sisanya tenggelam dalam diam, tertutup rasa takut, stigma sosial, dan tekanan keluarga.

Kita hidup di tengah masyarakat yang masih menganggap kekerasan sebagai “urusan rumah tangga.” Kalimat “istri harus sabar” atau “itu demi mendidik anak” sering kali menjadi tameng pembenaran bagi pelaku. Pandangan seperti ini tidak hanya salah, tetapi juga berbahaya—karena menormalisasi penderitaan.

Dalam banyak kasus, pelaku KDRT bukan orang asing, melainkan mereka yang seharusnya melindungi: suami, orang tua, bahkan majikan. Korban tidak hanya menderita secara fisik, tetapi juga psikis—trauma, rasa takut, kehilangan kepercayaan diri, dan bahkan kehilangan makna hidup.

Islam dengan tegas menolak segala bentuk kekerasan. Rasulullah saw adalah teladan yang penuh kasih terhadap keluarga. Jika Nabi saw yang mulia saja tak pernah mengangkat tangan kepada istrinya, bagaimana mungkin manusia biasa merasa berhak melakukannya?

Pencegahan KDRT tidak cukup hanya dengan hukum. Diperlukan pendidikan kesetaraan gender, konseling pranikah, dan komunikasi keluarga yang sehat. Masyarakat harus berani melapor, bukan membiarkan. Lembaga hukum harus hadir tidak hanya untuk menghukum, tetapi juga memulihkan korban dengan empati.

Rumah tangga yang damai dibangun di atas cinta, bukan kekuasaan. Setiap tindakan kekerasan, sekecil apa pun, adalah retakan dalam fondasi bangsa. Karena perempuan yang terluka berarti generasi yang terancam.

Mari kita hentikan luka sunyi di balik dinding rumah—dengan keberanian, kepedulian, dan kasih sayang yang sebenar-benarnya.


Dr Rahmawati MAg | Dosen Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Palopo

Apa Reaksi Anda?

like

dislike

love

funny

angry

sad

wow