Riset Palopo; Dari Etalase ke Alat Produksi, Dari Statistik ke Pemerdekaan

Riset Palopo; Dari Etalase ke Alat Produksi, Dari Statistik ke Pemerdekaan
Riset Palopo; Dari Etalase ke Alat Produksi, Dari Statistik ke Pemerdekaan

Ekonomi Pancasila menuntut keberpihakan dan kedaulatan; riset dikerjakan untuk membebaskan warga dari beban konkret.

Opini | hijaupopuler.id

Riset yang memihak rakyat adalah riset yang memanusiakan—bukan memoles angka. Di Kota Palopo, riset tidak boleh berhenti sebagai etalase laporan; ia harus menjadi alat produksi kesejahteraan: menurunkan ongkos hidup, menaikkan marjin pedagang kecil, menguatkan koperasi dan UMKM, serta memastikan perputaran uang di akar rumput, bukan menguap ke pusat akumulasi modal.

Masalahnya, agenda riset sering lahir dari selera proyek, bukan dari luka sosial. Inilah jebakan growth without development; ekonomi tampak tumbuh, tetapi biaya logistik pasar tetap tinggi, sampah tidak bernilai, pembiayaan mikro tersumbat, dan genangan merusak nafkah harian.

Pertanyaan riset mestinya tajam dan membebaskan; biaya apa yang dapat diturunkan minggu ini? pendapatan siapa yang dapat dinaikkan bulan depan?

Kedaulatan ekonomi bertumpu pada kedaulatan data. Tanpa satu pintu—SIRDA—kebijakan menjadi tebak-tebakan. Data harus menjadi alat perjuangan; dari perencanaan, policy brief, penganggaran, hingga monev terbuka. Tanpa itu, keberpihakan mudah dikalahkan lobi; kemanfaatan tergantikan seremoni.

Ekosistem riset juga perlu orkestrasi penta-helix; pemerintah, perguruan tinggi, dunia usaha, komunitas dan media. Negara bukan panitia pasar; negara wajib berpihak—menugaskan riset yang relevan, menyiapkan regulasi, membuka data dan memastikan hasilnya dipakai publik.

Dalam hal ini kampus dapat menjadi pengelola metodologi dan living lab; pelaku usaha menyerap hasil; komunitas mengoperasikan di lapangan; media menjaga akuntabilitas.

Solusinya konkret dan dekat. Terjemahkan program Wali Kota Palopo menjadi agenda riset operasional—dengan lokasi pilot, target 100 hari/12 bulan, indikator terukur dan PIC jelas. Mulailah dari low-hanging fruit, berupa;

Smart market and city logistics; harga real-time, pencatatan stok, kurir kota dan rute optimal untuk memangkas biaya logistik kios dan menguatkan pasar tradisional.

Juga waste to value, dengan menjadikan sampah sebagai komoditas (kompos, RDF, daur ulang plastik) agar ada nilai tambah, PAD potensial dan lingkungan lebih tangguh.

Bahkan bisa dengan fintech–koperasi; credit scoring mikro berbasis omzet harian supaya modal kerja mengalir ke pedagang kecil dengan bunga adil.

Serta drainase adaptif dan peringatan dini melalui sensor murah, peta genangan dan SOP respons cepat agar kerugian musiman dipangkas.

Anggaran riset mesti berbasis hasil yang dipakai, bukan tebalnya dokumen. Ukur penurunan biaya, kenaikan marjin UMKM/koperasi, perluasan akses pembiayaan dan replikasi antar-Kelurahan. Tautkan dengan pengadaan pemerintah pro-UMKM lokal agar uang beredar kembali di kampung-kampung, tidak “mengalir ke server-server.”

Intinya, Ekonomi Pancasila menuntut keberpihakan dan kedaulatan; riset dikerjakan untuk membebaskan warga dari beban konkret—ongkos hidup tinggi, akses modal sempit, dan layanan publik lambat—seraya menumbuhkan daya saing lokal yang berakar.

Jika riset di Kota Palopo berani melangkah dari etalase menuju dapur produksi nilai tambah, maka kota ini tidak hanya “tumbuh,” tetapi berkembang—adil, tangguh dan bermartabat.


Adzan Noor Bakri | Dosen, Korpus Abdimas LP2M UIN Palopo

Apa Reaksi Anda?

like

dislike

love

funny

angry

sad

wow