Santri dan Mahasiswa Belajar Bahasa Inggris Era Digital: Smart, Fun and Effective

Santri dan Mahasiswa Belajar Bahasa Inggris Era Digital: Smart, Fun and Effective

Kegiatan ini menjadi bukti bahwa pendidikan berbasis blended learning tidak hanya meningkatkan kompetensi akademik, tetapi juga membentuk karakter pembelajar yang adaptif, religius, dan global. Foto : UIN Zaisu.

Kabar | hijaupopuler.id

Dalam menghadapi dunia global yang semakin terhubung secara digital, kemampuan berbahasa Inggris kini menjadi kunci penting untuk membuka akses ilmu, karier dan peluang ekonomi. Tak ingin tertinggal oleh zaman, KKN Tematik 07 Beji Universitas Islam Negeri Prof KH Saifuddin Zuhri (UIN Saizu) Purwokerto menggelar kegiatan blended learning bertajuk “Online Qubic Fest 2025: Learning English in the Digital Era—Smart, Fun, and Effective!” pada Jumat siang (17/10/2025) sekira pukul 13.00 WIB baru-baru ini.

Kegiatan yang berlangsung melalui zoom meeting dan tatap muka di Pesantren Beji ini diikuti ratusan peserta dari kalangan santri, mahasiswa dan pengajar muda. Acara menghadirkan tiga narasumber inspiratif, yakni Agus Husein As Sabiq MPd, dosen Pendidikan Bahasa Inggris sekaligus edukator digital; Bunga Anisa, mahasiswa berprestasi yang aktif dalam pengajaran bahasa berbasis aplikasi; dan Rafi Akmal, digital learner muda yang sukses mengembangkan kemampuan bahasa Inggris melalui media daring dan AI-assisted learning.

Belajar Bahasa Inggris Tak Lagi Kaku, Tapi Cerdas, Seru dan Efektif

Dalam pemaparannya, Agus Husein As Sabiq menekankan bahwa metode pembelajaran bahasa Inggris masa kini harus beradaptasi dengan karakter Generasi Z dan Alpha yang terbiasa dengan teknologi, visual cepat, serta interaksi digital yang dinamis.

“Belajar bahasa kini tidak bisa lagi hanya mengandalkan papan tulis dan buku teks. Harus interactive, gamified dan contextual,” jelasnya.

Ia memperkenalkan konsep digital english learning ecosystem, yaitu lingkungan belajar yang memanfaatkan platform seperti Duolingo, ChatGPT, Grammarly, YouGlish, hingga AI Voice Tools untuk membantu pelafalan dan penulisan.

Agus Husein juga mengaitkan pendekatan ini dengan nilai-nilai Islam.

“Teknologi hanyalah alat. Kunci utamanya tetap niat dan disiplin. Dalam Islam, menuntut ilmu itu ibadah. Maka, belajar bahasa juga harus bernilai,” ujarnya.

Ia menambahkan, kemampuan berbahasa Inggris dapat memperluas dakwah dan literasi global santri.

“Bayangkan jika santri bisa membuat konten dakwah atau podcast Islam berbahasa Inggris, itu akan membuka dunia baru bagi pesantren Indonesia,” jelasnya.

Bunga Anisa: Integrasi Bahasa dan Teknologi untuk Santri

Narasumber kedua, Bunga Anisa, yang juga mahasiswa UIN Saizu, berbagi praktik nyata penerapan blended learning bahasa Inggris di kalangan santri. Ia menggunakan pendekatan learn by doing and speaking, di mana peserta dilatih menggunakan aplikasi digital seperti Kahoot, Quizizz, dan AI Translator Tools untuk memperkaya kosa kata dan kemampuan komunikasi.

“Santri harus percaya diri berbicara bahasa Inggris, tapi tetap menjaga adab dan konteks. Di era digital, kemampuan code-switching—mengubah bahasa sesuai audiens—itu penting,” ujarnya.

Ia menegaskan bahwa penguasaan bahasa Inggris tidak harus memutus identitas keislaman.

“Santri bisa fasih berbahasa Inggris tanpa kehilangan akar budaya dan nilai-nilai pesantren. Justru ini bentuk Islamic soft power,” lanjutnya.

Bunga juga menyoroti riset terbaru dari Cambridge University Press (2024) yang menunjukkan bahwa metode blended learning meningkatkan efektivitas belajar hingga 60% dibanding metode konvensional, karena kombinasi antara interaksi langsung dan fleksibilitas daring.

“Kita harus jadikan teknologi sebagai mitra belajar, bukan distraksi,” tegasnya.

Rafi Akmal: AI dan Revolusi Belajar Bahasa Inggris

Sesi ketiga dibawakan oleh Rafi Akmal, perwakilan mahasiswa generasi Z yang aktif dalam komunitas digital learning. Ia memaparkan bagaimana teknologi Artificial Intelligence (AI) mengubah cara belajar bahasa secara radikal.

“Sekarang ada banyak AI tools seperti ChatGPT, ELSA Speak, dan DeepL yang bisa menjadi virtual tutor pribadi. Kita bisa belajar kapan pun dan di mana pun. Tapi ingat, AI bukan pengganti guru, melainkan pendamping,” kata Rafi.

Ia mencontohkan bagaimana ia meningkatkan kemampuan speaking dan listening dengan berinteraksi menggunakan chatbot berbahasa Inggris dan menganalisis hasil percakapan untuk memperbaiki tata bahasa.

Menurut laporan World Economic Forum (2025), penguasaan bahasa asing, terutama bahasa Inggris, menjadi salah satu dari 10 keterampilan utama abad ke-21 yang paling dibutuhkan di pasar kerja global, bersama digital literacy dan creative thinking.

Rafi menegaskan,

“Kalau santri dan mahasiswa bisa menggabungkan bahasa, teknologi, dan nilai-nilai keislaman, mereka akan jadi global learner with moral compass—cerdas digital tapi tetap beretika.”

Blended Learning: Kolaborasi Kampus dan Pesantren

Kegiatan Online Qubic Fest 2025 menjadi bagian dari program blended learning santri-mahasiswa, yang digagas oleh KKN Tematik 07 Beji. Tujuannya adalah menjembatani dunia akademik kampus dengan ekosistem pesantren agar keduanya saling belajar dalam bidang literasi digital dan bahasa asing.

Koordinator KKN Tematik 07 menjelaskan bahwa kegiatan ini sejalan dengan Asta Protas Kementerian Agama RI, khususnya program Penguatan Literasi Digital dan Bahasa Asing bagi Santri.

“Kami ingin membuktikan bahwa santri bukan hanya ahli ngaji, tapi juga global communicator yang bisa bersaing di dunia digital,” ungkapnya.

Peserta mengikuti sesi interaktif seperti english game challenge, AI speaking practice, dan Islamic vocabulary quiz. Banyak santri mengaku antusias karena belajar bahasa Inggris terasa lebih ringan dan menyenangkan.

“Biasanya belajar grammar itu bikin pusing. Tapi di sini kita belajar lewat games dan aplikasi, jadi seru banget,” ujar Aulia, salah satu peserta dari Pesantren Beji.

Menjadi Pembelajar Digital yang Bernilai

Acara ditutup dengan refleksi bersama tentang pentingnya menjadi pembelajar digital yang beretika dan berjiwa sosial.

Agus Husein menekankan,

“Kecerdasan digital tanpa moral bisa menyesatkan. Tapi kalau teknologi disertai niat ibadah dan nilai Islam, maka ia menjadi jalan dakwah modern.”

Para peserta kemudian diajak membuat proyek sederhana berupa video pendek dalam bahasa Inggris bertema Islam and digital ethics. Proyek ini akan diunggah di media sosial pesantren sebagai bagian dari kampanye literasi bahasa digital.

Kegiatan ini menjadi bukti bahwa pendidikan berbasis blended learning tidak hanya meningkatkan kompetensi akademik, tetapi juga membentuk karakter pembelajar yang adaptif, religius, dan global.

Dengan sinergi antara kampus dan pesantren, generasi muda kini dinilai punya peluang besar menjadi smart learners with Islamic values—pembelajar cerdas yang membawa cahaya ilmu ke dunia digital.

Apa Reaksi Anda?

like

dislike

love

funny

angry

sad

wow