Ketika Kesalehan Menjadi Agensi: Cara Saba Mahmood Mengguncang Cara Kita Memahami Kebebasan Perempuan

Ketika Kesalehan Menjadi Agensi: Cara Saba Mahmood Mengguncang Cara Kita Memahami Kebebasan Perempuan
Ketika Kesalehan Menjadi Agensi: Cara Saba Mahmood Mengguncang Cara Kita Memahami Kebebasan Perempuan

Perempuan Muslim tidak perlu menolak agama untuk menjadi berdaya. Mereka sudah berdaya—dalam cara mereka sendiri, dalam dunia makna yang mereka bangun bersama Tuhan. Foto : icrs.or.id dan penulis.

Perspektif | hijaupopuler.id

Selama bertahun-tahun, wacana tentang perempuan Muslim selalu bergerak dalam dua kutub ekstrem: yang satu melihat perempuan berjilbab atau taat syariat sebagai korban patriarki, sementara yang lain menganggap ketaatan sebagai bentuk moralitas ideal yang harus diterima begitu saja.

Di antara suara-suara itu, muncul seorang antropolog Mesir-Amerika, Saba Mahmood, yang menawarkan perspektif berbeda—perspektif yang membuat banyak akademisi, feminis, dan pengamat sosial harus berhenti sejenak dan bertanya ulang; Apakah kebebasan selalu berarti perlawanan? Apakah perempuan hanya dianggap “berdaya” jika menolak norma? Bagaimana jika kesalehan justru menjadi bentuk agensi?

Melalui karyanya yang ikonik, Politics of Piety, Mahmood menunjukkan sesuatu yang mengejutkan banyak kalangan: perempuan dalam gerakan keagamaan bukan pasif, bukan korban, dan bukan sekadar mengikuti aturan—mereka justru membangun diri, otoritas, dan dunia sosialnya melalui ketaatan itu sendiri.

Menggeser Paradigma: Dari Resistensi ke Kesalehan

Dalam teori feminis Barat, agensi atau kemampuan bertindak selalu dipahami sebagai kemampuan untuk melawan dominasi. Perempuan dianggap “berdaya” jika mereka melawan norma, menentang tradisi, atau keluar dari batas‐batas religius yang dianggap mengekang.

Tapi Mahmood menolak definisi tunggal itu. Dalam penelitiannya terhadap gerakan perempuan di masjid-masjid Kairo, ia menemukan bahwa kesalehan bukanlah tanda ketidakberdayaan, tetapi praktik aktif untuk membentuk diri.

Bagi perempuan dalam gerakan itu; tubuh mereka dilatih melalui ibadah, hati mereka dibentuk dalam dzikir dan pengabdian, dan moralitas mereka diasah melalui disiplin diri.

Di sinilah Mahmood membuat lompatan pemikiran yang besar, bahwa agensi tidak selalu hadir dalam bentuk perlawanan. Agensi dapat hadir dalam bentuk ketaatan yang dipilih secara sadar.

Kesalehan sebagai Tindakan: Membangun Subjektivitas

Dalam perspektif Mahmood, perempuan Muslim bukan sekadar mengikuti aturan syariat; mereka membentuk diri melalui aturan itu. Ketaatan bukan sekadar kepatuhan otomatis, tetapi latihan panjang yang menciptakan bentuk subjektivitas tertentu.

Mereka mengatur cara berpakaian, cara berbicara, cara duduk, cara menundukkan pandangan—bukan karena terpaksa, tetapi karena ingin menjadi manusia saleh yang diridai Allah swt.

Ini bukan sekadar pilihan individual, tapi proses ta’dīb—pendidikan diri, penyempurnaan karakter, pembentukan etos.

Di sinilah Mahmood berbeda dari banyak teori feminis kontemporer, di mana ia memperlakukan kebiasaan tubuh atau habitual body dan latihan spiritual sebagai bentuk tindakan yang bermakna.

Sujud bukan sekadar ritual, tetapi pembentukan kerendahan hati. Jilbab bukan sekadar norma, tetapi ekspresi kesadaran diri. Majelis taklim bukan sekadar ruang domestik, tetapi arena otoritas moral dan intelektual.

Agensi dalam Bingkai Iman: Negosiasi Kekuasaan

Mahmood tidak naif. Ia tidak menganggap struktur masyarakat atau kekuasaan agama sebagai sesuatu yang netral. Namun, ia menunjukkan bahwa perempuan tidak hanya taat— mereka juga menegosiasikan kekuasaan itu.

Namun negosiasinya tidak selalu berbentuk perlawanan frontal. Kadang ia halus, lewat peran mengajar, membimbing, memberi nasihat moral, atau menjadi teladan dalam komunitas.

Mahmood ingin kita melihat bahwa perempuan Muslim memahami kekuasaan. Mereka menghadapi kekuasaan. Tapi mereka menghadapinya dengan cara mereka sendiri—lewat ibadah, etika, dan kesalehan.

Agensi, bagi Mahmood, adalah kemampuan untuk membuat makna, bukan hanya menolak aturan.

Pelajaran untuk Dunia Modern: Kita Harus Berhenti Menganggap Diri sebagai Pusat Kebenaran

Salah satu kritik terbesar Mahmood adalah terhadap kecenderungan modernitas (dan feminisme Barat) yang ingin mendefinisikan kebebasan dari sudut pandangnya sendiri. Seolah-olah perempuan hanya bebas jika mereka tidak berhijab, tidak taat, atau tidak mengikuti tradisi.

Mahmood menantang cara berpikir yang etnosentris itu. Ia menunjukkan bahwa kebebasan adalah konsep yang punya sejarah, budaya, dan konteks, dan tidak bisa dipaksakan kepada semua masyarakat.

Bagi banyak perempuan Muslim, kebebasan bukan berarti melepaskan diri dari agama, tetapi menjalani agama dengan cara yang paling dalam dan sadar.

Apa Artinya bagi Pembaca Indonesia, Terutama Generasi Muda?

Pembaca Muslim Indonesia—terutama Gen Z dan Gen Alpha yang tumbuh di tengah debat publik antara konservatisme dan liberalisme—bisa belajar sesuatu yang sangat penting dari Mahmood, bahwa tidak semua ketaatan adalah paksaan. Tidak semua tradisi adalah penindasan. Tidak semua kesalehan adalah domestikasi. Dan tidak semua kebebasan harus berbentuk perlawanan.

Mahmood mengajak kita untuk melihat perempuan Muslim sebagai subjek penuh, bukan objek. Sebagai pelaku, bukan korban. Sebagai manusia yang membangun makna hidupnya — bahkan ketika makna itu lahir dari disiplin diri dan ketaatan.

Kesimpulan: Kebebasan yang Tidak Selalu Melawan

Saba Mahmood menggeser cara kita memahami kebebasan, agensi, dan perempuan Muslim. Melalui Politics of Piety, ia memperlihatkan bahwa kesalehan dapat menjadi bentuk agensi. Ketaatan dapat menjadi pilihan sadar. Ibadah dapat menjadi jalan membangun diri.

Dan yang paling penting, perempuan Muslim tidak perlu menolak agama untuk menjadi berdaya. Mereka sudah berdaya—dalam cara mereka sendiri, dalam dunia makna yang mereka bangun bersama Tuhan.

Intan Diana Fitriyati MAg | Dosen STAI Al-Andina Sukabumi

Apa Reaksi Anda?

like

dislike

love

funny

angry

sad

wow