Menguatkan Perlindungan Hak Perempuan, Menguatkan Indonesia
Perempuan Indonesia tidak menuntut keistimewaan, mereka menuntut keadilan. Ketika perempuan aman, sehat, berpendidikan, dan berdaya, maka bangsa ini akan semakin kuat. Ilustrasi/foto : muslimahreformis.co dan penulis.
Opini | hijaupopuler.id
Perempuan Indonesia hari ini berdiri di antara dua realitas: di satu sisi, konstitusi dan berbagai undang-undang menjamin kesetaraan dan perlindungan; di sisi lain, masih banyak perempuan yang terpinggirkan oleh budaya patriarki, diskriminasi, dan kekerasan yang berulang.
Padahal sejatinya, keberhasilan bangsa sangat bergantung pada sejauh mana negara memberi ruang aman dan setara bagi perempuan untuk tumbuh dan berkontribusi.
Landasan Hukum yang Kuat
Negara sesungguhnya telah memberikan dasar hukum yang cukup progresif. UUD 1945 Pasal 27, 28B, dan 28D menjamin kesetaraan dan perlindungan hukum bagi seluruh warga negara tanpa kecuali.
Selain itu, Indonesia telah meratifikasi Konvensi CEDAW melalui UU Nomor 7 Tahun 1984, yang menegaskan komitmen global terhadap penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan.
Lahirnya berbagai peraturan seperti UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT), UU Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS), dan UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan adalah bukti bahwa negara tidak menutup mata terhadap isu-isu perempuan.
Namun, payung hukum yang baik belum tentu menjamin perlindungan yang efektif. Banyak perempuan masih menghadapi kesenjangan antara teks hukum dan praktik lapangan.
Ketimpangan yang Masih Nyata
Dalam dunia kerja, perempuan masih harus berjuang melawan diskriminasi upah, pelecehan, dan stigma “kurang produktif” ketika menikah atau memiliki anak. Di sektor pendidikan, masih ada anak perempuan yang dipaksa putus sekolah karena pernikahan dini. Sementara itu, dalam ranah politik, meski ada kebijakan kuota 30% keterwakilan perempuan, partisipasi mereka masih minim karena hambatan struktural dan budaya.
Kondisi ini memperlihatkan bahwa persoalan kesetaraan gender bukan hanya urusan hukum, melainkan juga budaya dan kesadaran kolektif. Masyarakat masih sering memandang perempuan dari kacamata tradisional—terbatas pada ranah domestik, bukan sebagai subjek yang setara dalam pembangunan bangsa.
Hak Perempuan adalah Hak Asasi
Hak perempuan atas perlindungan dari kekerasan, hak atas kesehatan, hak reproduksi, pendidikan, pekerjaan, hingga pengembangan diri, semuanya adalah bagian dari hak asasi manusia. Ketika hak-hak ini diabaikan, maka pelanggaran bukan hanya terhadap individu perempuan, tetapi terhadap kemanusiaan itu sendiri.
Karena itu, upaya perlindungan harus komprehensif: melibatkan lembaga hukum, lembaga pendidikan, sektor kesehatan, dunia kerja, serta masyarakat luas. Lembaga seperti Komnas Perempuan, P2TP2A, dan Unit PPA di kepolisian harus diperkuat, bukan hanya secara kelembagaan tetapi juga dalam perspektif gender aparat penegak hukum.
Mengubah Kesadaran, Membangun Solidaritas
Kesetaraan gender bukan sekadar isu perempuan; ia adalah tanggung jawab seluruh bangsa. Perubahan hanya akan terjadi ketika laki-laki turut menjadi bagian dari solusi, ketika masyarakat berhenti menyalahkan korban, dan ketika setiap keluarga membesarkan anak dengan nilai-nilai kesetaraan.
Pendidikan gender harus diintegrasikan ke dalam kurikulum, media harus aktif mengedukasi publik, dan pemerintah wajib memastikan bahwa kebijakan benar-benar menyentuh perempuan di akar rumput—terutama di daerah terpencil dan kelompok rentan.
Penutup
Perempuan Indonesia tidak menuntut keistimewaan, mereka menuntut keadilan. Ketika perempuan aman, sehat, berpendidikan, dan berdaya, maka bangsa ini akan semakin kuat.
Memperjuangkan hak perempuan berarti memperjuangkan masa depan Indonesia yang lebih manusiawi, adil, dan sejahtera bagi semua.
Dr Rahmawati MAg | Dosen Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Palopo
Apa Reaksi Anda?
