Seragam Pelayanan KORPRI, Antara Simbol dan Tindakan

Seragam Pelayanan KORPRI, Antara Simbol dan Tindakan
Seragam Pelayanan KORPRI, Antara Simbol dan Tindakan

Masyarakat tidak akan mengenang kita karena warna seragam, tapi karena kehangatan pelayanan yang mereka rasakan. Nampak sejumlah ASN-PPPK baru-baru ini mengenakan seragam KORPRI saat menerima SK pengangkatannya di Auditorium Phinisi UIN Palopo.

Opini | hijaupopuler.id

Beberapa hari lalu, suasana penuh haru dan syukur menyelimuti wajah teman-teman saat menerima SK PPPK. Tangis bahagia, senyum lepas dan ucapan Alhamdulillah terdengar di mana-mana.

Perjalanan panjang penuh ujian, pengabdian yang sunyi dan doa yang tak henti, akhirnya menemukan titik terang. Dan di tengah momen itu, satu hal yang tampak menyatukan: kemeja batik KORPRI yang dikenakan dengan penuh kebanggaan.

Namun di balik euforia penerimaan SK, ada satu pesan penting yang tak boleh dilupakan: baju KORPRI bukanlah hanya seragam ASN, ia adalah simbol pelayanan. Ia bukan tanda kita telah 'naik kelas,'  tapi justru panggilan untuk semakin merendah dan melayani. Karena sesungguhnya, kehormatan tertinggi seorang ASN bukan pada status atau SK yang diterima, tetapi pada sejauh mana ia bermanfaat bagi masyarakat.

Seragam KORPRI bukan hanya soal kain dan motif. Ia adalah komitmen yang dikenakan. Ia dirancang bukan hanya untuk keindahan visual, tetapi untuk menyematkan makna simbolik yang dalam. Ia adalah pakaian pelayanan.

Di balik motifnya yang khas, tersimpan nilai-nilai kejujuran, profesionalitas dan pengabdian. Namun, makna itu hanya akan hidup jika diterjemahkan dalam tindakan nyata, bukan hanya dalam seremoni dan pidato tahunan.

Sayangnya, tak bisa dipungkiri, realita di lapangan kadang berbeda jauh dari idealisme. Sebagian masyarakat, bahkan sebagian ASN sendiri, melihat baju KORPRI sebagai simbol kekuasaan birokrasi, bukan sebagai baju pelayanan.

Sementara di mata masyarakat, tidak jarang seragam ini diasosiasikan dengan meja pelayanan yang lambat, ekspresi petugas yang dingin, atau prosedur yang menyulitkan.

Masyarakat lebih percaya pada senyum tulus dan tindakan nyata, daripada simbol yang dingin dan kaku.

Sebagai seorang Penyuluh Agama Islam di Kantor Kementerian Agama Kabupaten Luwu Provinsi Sulawesi Selatan sejak tahun 2011, penulis belajar bahwa pelayanan bukan hanya soal data, program, atau administrasi. Pelayanan adalah soal kehadiran yang menyentuh hati.

Baju KORPRI menjadi saksi bisu dari lelah dan doa, dari langkah yang tak selalu dihitung sebagai kinerja, tapi tetap dilakukan karena panggilan hati. Maka jika seragam ini punya suara, barangkali ia ingin berkata “Jangan biarkan aku hanya jadi lambang, jadikan aku bagian dari pelayananmu.”

Kita sering mendengar istilah 'ASN sebagai pelayan masyarakat.' Tapi kata 'pelayan' sering kali masih terasa asing di lidah dan sikap oknum pegawai. Padahal dalam Islam, melayani adalah kemuliaan. Rasulullah ﷺ bersabda:

"Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lain." (HR. Ahmad)

Jika pelayanan dipandang sebagai ibadah, maka setiap pekerjaan—entah itu mengisi data, menandatangani dokumen, atau menyambut tamu dengan senyum—semuanya bernilai ibadah. Baju KORPRI, jika dikenakan dengan niat dan semangat melayani, bisa menjadi sarana pengabdian yang berpahala.

Melayani adalah bahasa cinta paling nyata dari seorang abdi negara kepada masyarakatnya.

KORPRI hari ini punya tantangan besar: bagaimana mengubah persepsi masyarakat tentang birokrasi. Dan itu hanya bisa dilakukan jika para pemakai bajunya mulai berubah. ASN hari ini tidak bisa hanya berorientasi pada rutinitas administratif, tapi harus mampu menjawab kebutuhan publik dengan inovasi, keramahan dan ketulusan.

Kita butuh budaya baru; budaya melayani. Budaya yang tidak hanya hadir di spanduk dan pidato, tapi menyatu dalam etos kerja harian. ASN yang bukan hanya cerdas, tapi juga berjiwa pelayan. ASN yang sadar bahwa setiap tindakan, sekecil apa pun, akan dikenang bukan karena seragam yang dipakai, tapi karena manfaat yang ditinggalkan.

Baju KORPRI adalah baju pelayanan. Ia adalah simbol yang indah. Tapi lebih dari itu, ia adalah panggilan nurani. Kini saatnya setiap ASN bertanya dalam hati; apakah aku sudah menjadi pelayan yang baik bagi masyarakat? Apakah bajuku sekadar formalitas, atau sudah benar-benar mencerminkan nilai pengabdian?

Karena pada akhirnya, masyarakat tidak akan mengenang kita karena warna seragam, tapi karena kehangatan pelayanan yang mereka rasakan.

Muhlisa Massi | Ketua Umum IPARI Kabupaten Luwu, Penyuluh Agama Islam Kecamatan Walenrang Kantor Kementerian Agama Kabupaten Luwu

Apa Reaksi Anda?

like

dislike

love

funny

angry

sad

wow