Apakah Layak Guru Ditahan dalam Kasus Penganiayaan Ringan terhadap Anak di Bawah Umur?

Apakah Layak Guru Ditahan dalam Kasus Penganiayaan Ringan terhadap Anak di Bawah Umur?
Apakah Layak Guru Ditahan dalam Kasus Penganiayaan Ringan terhadap Anak di Bawah Umur?

Hukum harus tegak, tetapi kemanusiaan harus lebih tinggi. Dalam kasus penganiayaan ringan oleh guru terhadap anak, penahanan bukanlah satu-satunya jalan menuju keadilan. Ilustrasi/foto : why-me.org dan penulis.

Opini | hijaupopuler.id

Kasus dugaan penganiayaan ringan terhadap anak di bawah umur yang dilakukan oleh seorang guru sering menimbulkan dilema di tengah masyarakat. Di satu sisi, publik menuntut perlindungan hukum terhadap anak; di sisi lain, ada pertimbangan moral dan sosial terhadap sosok guru yang mungkin tidak berniat jahat, melainkan bermaksud mendidik dengan cara yang salah.

Pertanyaan hukumnya kemudian, apakah layak dilakukan penahanan terhadap seorang guru dalam kasus penganiayaan ringan terhadap anak di bawah umur?

Dasar Hukum Penahanan Menurut KUHAP

Menurut Pasal 21 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), penahanan hanya dapat dilakukan apabila; Tersangka atau terdakwa diduga keras melakukan tindak pidana dengan ancaman lima tahun atau lebih, dan atau terdapat alasan yang cukup untuk menduga bahwa tersangka akan melarikan diri, menghilangkan barang bukti, atau mengulangi tindak pidana.

Dengan demikian, penahanan bukanlah kewajiban otomatis. Ia harus memenuhi syarat objektif (ancaman pidana ≥ 5 tahun), dan syarat subjektif (kekhawatiran akan perbuatan tambahan seperti melarikan diri).

Penganiayaan Ringan: Ancaman di Bawah Lima Tahun

Pasal 352 ayat (1) KUHP mengatur tentang penganiayaan ringan, dengan ancaman pidana maksimal tiga bulan penjara. Secara yuridis, tindak pidana ini tidak memenuhi syarat objektif untuk dilakukan penahanan, karena ancaman hukumannya di bawah lima tahun.

Namun, apabila penganiayaan tersebut dilakukan terhadap anak di bawah umur, maka perlu diperhatikan Undang-Undang Perlindungan Anak (UU Nomor 35 Tahun 2014 jo. UU Nomor 17 Tahun 2016) yang memperberat ancaman hukuman bagi pelaku kekerasan terhadap anak.

Pasal 80 ayat (1) UU Perlindungan Anak menyebutkan,

“Setiap orang yang melakukan kekerasan terhadap anak yang mengakibatkan anak tersebut luka ringan dipidana dengan penjara paling lama tiga tahun enam bulan atau denda paling banyak Rp72.000.000.”

Artinya, ancaman pidana di atas lima tahun belum terpenuhi, tetapi lebih tinggi daripada penganiayaan biasa. Dengan demikian, secara objektif penahanan masih belum mutlak diperlukan, meskipun dimungkinkan secara terbatas apabila penyidik menilai ada alasan subjektif.

Pertimbangan Subjektif: Posisi Guru dan Korban Anak

Secara sosial, guru memegang peran penting dalam pendidikan moral dan kedisiplinan. Namun, ketika seorang guru melakukan kekerasan fisik—meski dalam konteks mendidik—dan korbannya adalah anak di bawah umur, maka aspek perlindungan anak menjadi prioritas hukum.

Meski demikian, penahanan guru lansia atau guru yang kooperatif sering kali tidak proporsional. Tujuan hukum pidana bukan hanya menghukum, tetapi juga mendidik dan memperbaiki. Jika guru menunjukkan itikad baik, mengakui perbuatan, dan bersedia berdamai dengan keluarga korban, maka penahanan bisa diganti dengan alternatif hukum lain seperti wajib lapor, atau penangguhan penahanan (Pasal 31 KUHAP), atau penyelesaian restorative justice sesuai Surat Edaran Kapolri Nomor SE/8/VII/2018 tentang Penerapan Keadilan Restoratif.

Perspektif Keadilan Restoratif

Dalam kasus seperti ini, pendekatan restoratif jauh lebih sejalan dengan semangat keadilan substantif. Restorative justice menekankan pemulihan hubungan antara pelaku, korban, dan masyarakat, bukan semata-mata pembalasan.

Polri dan Kejaksaan telah mengembangkan mekanisme mediasi untuk kasus-kasus kekerasan ringan, termasuk penganiayaan anak, dengan syarat antara lain korban dan keluarga menyetujui penyelesaian damai, atau pelaku mengakui perbuatannya, atau perbuatan tidak mengakibatkan luka berat atau kematian.

Bila syarat ini terpenuhi, maka penahanan tidak layak dilakukan, karena bertentangan dengan asas kemanfaatan dan kemanusiaan.

Analisis Yuridis dan Moral

Dari sisi yuridis, ancaman pidana penganiayaan ringan terhadap anak belum mencapai batas penahanan wajib. Dari sisi moral dan sosial, penahanan guru, apalagi yang berusia lanjut, dapat menimbulkan efek psikologis dan sosial yang kontraproduktif.

Namun demikian, jika tindakan guru tersebut menimbulkan trauma berat, dilakukan dengan sengaja, atau berulang kali, maka penegakan hukum tetap perlu dilakukan secara tegas. Dalam hal ini, penahanan dapat dijadikan instrumen preventif untuk menjaga ketertiban dan keadilan bagi anak korban.

Kesimpulan dan Penutup

Penahanan terhadap guru dalam kasus penganiayaan ringan terhadap anak di bawah umur tidak layak dilakukan, kecuali terdapat alasan subjektif yang kuat. Alternatif hukum seperti penangguhan penahanan atau penerapan restorative justice lebih sesuai dengan prinsip kemanfaatan dan kemanusiaan.

Guru yang kooperatif dan berusia lanjut sebaiknya tidak ditahan apabila perbuatannya tidak mengandung unsur kekerasan berat atau kesengajaan yang membahayakan anak.

Hukum harus tegak, tetapi kemanusiaan harus lebih tinggi. Dalam kasus penganiayaan ringan oleh guru terhadap anak, penahanan bukanlah satu-satunya jalan menuju keadilan. Keadilan yang sejati justru tercapai ketika hukum mampu melindungi anak tanpa merendahkan martabat pendidik.

Pepatah bijak mengatakan, “Menegakkan hukum tanpa nurani akan melahirkan ketidakadilan yang baru.”


Muh Akbar SH MH | Dosen, Wakil Dekan Bidang AUPK Fakultas Syariah UIN Palopo. Aktif menulis opini dan kajian tentang hukum, etika profesi, dan reformasi institusi penegak hukum, serta mengajar ilmu fiqh.

Apa Reaksi Anda?

like

dislike

love

funny

angry

sad

wow