Make Indonesia Great Again

Muhammad Suryadi R (Mahasiswa Pascasarjana IAIN Parepare)
Opini | hijaupopuler.id
Sebagai negara besar, Indonesia memiliki potensi dan kekayaan luar biasa. Kekayaan itu bisa kita lihat dari ragam kebudayaan yang ada. Bahkan, beberapa di antarnya telah diakui UNESCO sebagai warisan Kebudayaan Tak Benda. Sebut saja, Wayang, Keris, Batik, Angklung, Tari Saman, Noken, Kapal Pinisi, Pencak Silat, Pantun, Gamelan dan terakhir Jamu Sehat (tempo.co/12/12/2023).
Selain kebudayaan, kekayaan Indonesia berasal dari sumber daya alam yang sangat melimpah ruah. Dari sektor batubara, Indonesia berada pada urutan ketiga teratas dari 10 negara produsen batu bara terbesar di dunia. Jumlah pengerukan batu bara tahun 2023 sebanyak 563,73 ton (tempo.co/7/10/2023). Sedangkan, dari sektor minyak, Indonesia memproduksi dapat minyak 845 ribu barel per hari.
Sebaran cadangan minyak terbesar Indonesia tersebar di beberapa pulau penghasil terbesar, yakni; Sumatera, Kalimantan, Jawa dan Papua (kumparan.com/29/10/2024). Begitu pun kekayaan dengan gas alam Indonesia. Dari data Kementerian Energi dan Sumber Daya (ESDM), jumlah cadangan gas alam Indonesia per Mei tahun 2023 yaitu 54,83 triliun kaki kubik (TCF) (tribunnews.com/15/08/2024).
Warisan kebudayaan dan sumber daya alam yang melimpah ruah yang dimiliki seharusnya menjadi modal yang meyakinkan bagi Indonesia sebagai sebuah bangsa. Kekayaan-kekayaan yang dimiliki adalah Brand Ambassador yang dapat menguatkan posisi Indonesia di mata dunia. Kendati demikian, kekayaan alam dan warisan kebudayaan saja belumlah cukup. Keduanya harus ditajamkan melalui pendidikan sejarah.
Akar Peradaban yang Kokoh
Jika menilik kembali periodisasi Indonesia dalam lintasan sejarah, maka kita akan temukan betapa kuatnya fondasi kebangsaan kita sejak dulu. Pertama-tama, mau tak mau, mempelajari sejarah adalah koenjti. Dalam catatan sejarah, nama Indonesia secara antropolgi pertama kali dipopulerkan oleh Adolf Sebastian sebagai nama identitas bangsa ini secara geografis dan politik.
Nama Indonesia yang diadopsi Sebastian adalah nama "Indunesian" yang sebelumnya telah disebut oleh George Samuel Windsor Earl dan dipungut kembali oleh James Richardson Logan hingga akhirnya dipopulerkan oleh Adolf Sebastian (kompas.co.id/22/08/2020).
Indonesia secara geografis adalah wilayah yang membentang dari Pulau Sumatera sampai Pulau Papua. Kendati, penyatuan secara geografis ini lemah, karenanya seluruh gugusan pulau mesti dipersatukan secara politik ke dalam satu naungan yang bernama negara dan bangsa Indonesia (nasionalisme).
Soekarno dalam bukunya Nasionalisme, Islamisme, Marxisme, menjelaskan perihal bangsa. Bahwa nasionalisme bukan hanya bahasa, agama, dan batas-batas wilayah, melainkan sebuah iktikad bersama, keinginan menjadi satu tanpa mengecilkan satu golongan dan keinginan hidup menjadi satu (Soekarno, 2021).
Dalam catatan sejarah pra-modern, terutama dalam catatan Kerajaan Majapahit, kira-kira abad ke-14 M, kepulauan yang kita sebut Indonesia saat ini dulunya merupakan wilayah yang memiliki kekuasaan yang membentang dari semenanjung Malaya hingga ke Asia Tenggara.
Dalam catatan Yudi Latief dalam bukunya Negara Paripurna, menyebutkan bahwa Nusantara yang merupakan nama wilayah kekuasaan era Majapahit ini adalah kerajaan laut terbesar diantara bangsa-bangsa di dunia dan ditakuti oleh pelaut-pelaut asing.
Nusantara kala itu bukan hanya kekuatan darat, tetapi juga kekuatan laut yang bergerak dari selatan ke utara yang mengikuti naluri atau sistem kerajaan yang bergerak dari bawah ke atas angin bersama cita-cita dan kehidupan masyarakatnya (Yudi Latif, 2011).
Nama Nusantara sendiri diperkenalkan pertama kali oleh Gajah Mada dalam sumpah Palapa yang menyebutkan "lawun humus kalah Nusantara isun amukti palapa", artinya "saya tidak akan melepaskan puasa sebelum menaklukkan Nusantara" (Agus Sunyoto, 2012).
Peradaban Nusantara di masa lalu menunjukkan kekokohan peradaban kita. Jauh sebelum peradaban Majapahit, Dwipantara telah lebih dulu muncul sebagai peradaban pada abad ke-13 yang dipimpin Raja Kertanegara, raja terakhir Singasari.
Visi menyatukan wilayah kerajaan Singasari ke dalam satu wilayah kekuasaan maritim yang dikenal dengan sebutan politik Cakrawala Mandala. Kini, visi ini diadopsi menjadi suatu wawasan kebangsaan atau landasan geopolitik Indonesia dengan istilah Cakrawala Mandala Dwipantara.
Selain itu, peradaban bangsa kita tak hanya kuat secara geopolitik, tapi juga besar dengan peradaban literasi. Kita sama-sama mengenal La Galigo, sebuah karya sastra terpanjang di dunia yang mengalahkan Mahabharata, yang berisikan cerita mitologi tentang manusia pertama di muka bumi; To Manurung yang sekaligus menandai awal mula peradaban manusia di tanah Bugis. La Galigo yang ditulis oleh Colliq Pujie ini kini ditetapkan UNESCO sebagai Memory of The World.
Kepemimpinan yang Kuat
Gilang gemilang peradaban sejarah di masa lalu adalah wawasan atau alat navigasi kepemimpinan yang kuat untuk masa kini dan di masa mendatang. Warisan peradaban dan sejarah adalah pengetahuan yang sangat berharga untuk dijadikan sebagai fondasi utama dalam mengelola bangsa sebesar Indonesia.
Dokumen sejarah, prasasti, kebudayaan dan warisan lainnya merupakan tiang-tiang penyangga bagi kokohnya sebuah bangsa. Menghadapi problem kebangsaan yang ada di depan mata, faktor kepemimpinan akan sangat mempengaruhi mundur atau majunya sebuah negara.
Karena itu, kepemimpinan sebenarnya bukan hanya tentang faktor keterwakilan di parlemen atau di dewan eksekutif, melainkan wawasan mendalam, soal kemampuan dan karakter yang kuat. Di masa lalu, Indonesia pernah memiliki pemimpin seperti itu, yakni Soekarno. Di tangannya, Indonesia menjadi kekuatan yang diperhitungkan oleh dunia. Menurut penulis, hal itu bermula dari sejumlah pertemuan-pertemuan tingkat tinggi yang berhasil diprakarsai oleh Indonesia.
Pada tahun 1955, tepatnya pada 18-24 April, Indonesia menginisiasi pertemuan tingkat tinggi, Konferensi Asia-Afrika di Bandung. Konferensi ini membicarakan perihal imperialisme dan kolonialisme yang menguat di tengah Perang Dingin yang terjadi antara rivalitas abadi dua ideologi; Blok Barat; Kapitalisme-Liberalosme dan Blok Timur; Komunisme-Sosialisme dan munculnya Konferensi Gerakan Non-Blok (GNB) yang digagas Soekarno bersama pemimpin negara-negara ketiga.
Selain itu, yang tak kalah penting dan sangat monumental adalah pidato Soekarno pada Sidang Umum PBB di New York tahun 1960 yang dengan lantang dan gagah berani berpidato menyatakan sikap politik Indonesia di hadapan para pemimpin dunia, sistem Polugri (Politik Luar Negeri); Prinsip Bebas-Aktif. Pidato dengan judul "To Bulid The World A New" Bung Karno ini sudah ditetapkan UNESCO sebgagai Memory of The World pada tahun 2023.
"Make Indonesia Great Again" bukan tidak mungkin. Di bawah langit, semua menjadi mungkin. Di masa lalu, bangsa ini sudah pernah melakukannya. Era kejayaan di masa silam bisa kembali menerangi bumi pertiwi. Sejarah itu bisa berulang dan hanya berganti pemain.
Kita kaya dengan sumber daya alam, kita berasal dari gen bangsa yang kuat dan berperadaban tinggi, dan kita memiliki kebudayaan yang tak bisa ditiru oleh bangsa lain. Soal mengapa kita menjadi terkebelakang, jawabannya adalah kita menyisihkan sejarah dan tidak lagi menjadikannya sebagai pelajaran sebagai perjalanan bangsa.
Selain itu, sebab mendasar yang dihadapi kepemimpinan bangsa saat ini adalah soal keberanian dan kemandirian. Dua masalah ini adalah prinsip mendasar yang belum mampu diterjemahkan menjadi visi kepemimpinan. Munculnya problem politik, ekonomi, sosial, budaya hingga lingkungan adalah akibat dari kepemimpinan yang belum kuat.
Jargon "Make Indonesia Great Again" yang pernah diucapkan Presiden Prabowo pada tahun 2018 adalah optimisme di masa kepemimpinannya saat ini, kendati di masa kepemimpinannya terdapat gejolak yang muncul satu persatu. Namun, kita tentu berharap Presiden Prabowo Subianto bersama visi Astacita-nya bisa melakukannya, Make Indonesia Great Again.
Oleh: Muhammad Suryadi R (Mahasiswa Pascasarjana IAIN Parepare
Apa Reaksi Anda?






