Toleransi ala Warung Kopi

Toleransi ala Warung Kopi

Saya menikmati “kopi” (atau minuman) yang saya pesan, silakan anda pun menikmati “kopi” (atau minuman lain) yang anda pesan; untukmu “kopimu”, untukku minumanku. [Gambar Ilustrasi Hijaupopuler.id]

Hijaupopuler.id - Syahdan, di suatu pagi, beberapa orang duduk bersama di salah satu warung kopi. Walaupun namanya warung kopi, namun jenis minuman yang disediakan bukan hanya kopi, ada minuman lain, semisal teh, wedang jahe, dan lain-lain.

Karena namanya warung kopi, walaupun ada menu alternatif, kebanyakan yang duduk di sana menikmati kopi; walau di satu warung kopi yang sama, kopi yang dinikmatinya pun ada beragam rasa, mulai yang tebal-tipis kopinya, ada yang dicampur susu kental manis, ada yang tanpa gula, ada yang dengan pemanis lain.

Antara sesama pengunjung warung kopi saling menghargai, bahkan walau dengan minuman yang dinikmatinya berbeda, toh antara mereka saling menyapa hatta yang barusan bertemu sekalipun; selama di sana mereka akan bersahut cerita, sesekali tertawa kecil bersama, kadang juga ada yang tertawa meledakk.

Masing2 pengunjung menikmati minuman pesanannya. Si Peminum Kopi tentu saja akan mempersilahkan tetangga yang duduk di kursi sebelahnya yang kebetulan memesan teh untuk menikmati minumannya. Mereka masing-masing begitu menikmati minuman pesanannya. Nikmat kopi yang diseruputnya sesungguhnya tidak akan terusik oleh segelas teh atau minuman lainnya, yang dinikmati oleh temannya. Tidak ada juga yang begitu usil memaksakan mencampur sesendok minumannya yang berbeda jenis ke gelas kawannya, walau kawan (sangat) akrab sekalipun.

Banyak di antara pengunjung warung kopi adalah perokok, tapi tidak semua perokok yang mengunjungi satu warung kopi membawa korek api. Kenyataan tersebut memaksa si perokok tersebut bila akan menyulut rokoknya untuk meminta korek pada “tetangga” di sebelahnya, tanpa peduli apakah sama-sama peminum kopi, atau bukan; tidak ada masalah, toh “hanya” korek api.

Lebih dari itu, terkadang seorang perokok yang kebetulan kehabisan persediaan terpaksa meminta sebatang rokok pada orang di sebelahnya; kadang juga rasa secara spontan seseorang yang melihat dan mengetahui kondisi temannya yang kehabisan rokok segera menawarkan kepadanya, walau yang tersisa adalah satu batang terakhir; kondisi itu tidak peduli apakah minumannya sama atau tidak.

Sehingga, semua pengunjung warng kopi itu memilih dan menikmati minuman pesanannya tanpa terusik oleh perbedaan minuman pesanan temannya; yang kebetulan sebahagian besar memesan kopi, yang tentu saja dengan ragam selera, juga tidak akan mempersoalkan bila ada segelintir pengunjung warung kopi yang memesan dan menikmati minuman selain kopi.

Seorang yang di depannya terhidang segelas kopi, rasa kopinya tidak akan berubah hanya karena mengatakan kepada temannya “silahkan nikmati teh” yang telah anda pesan! rasa kopi dan atau teh juga tidak akan berubah hanya karena telah memberi atau menerima sebatang rokok pemberian teman yang minumannya berbeda.

Saya pikir, dalam batasan2 tertentu, hidup bersama dalam tatanan masyarakat yang heterogen, termasuk dalam hal keyakinan mengharuskan kita (sedikit) belajar pada karakter pengunjung warung kopi; yang mesti terdapat perbedaan selera, tidak mencampur adukkan rasa, dan saling tidak menghalangi, saling tidak mengusik; namun saling memberi kesempatan menikmati “menu” yang telah dipilihnya.

Saya menikmati “kopi” (atau minuman) yang saya pesan, silakan anda pun menikmati “kopi” (atau minuman lain) yang anda pesan; untukmu “kopimu”, untukku minumanku.

**

Saya akhirnya hampir berkesimpulan bahwa bila ingin memahami toleransi sesama pemeluk agama, maka dalam batasan tertentu, bukan sepenuhnya.

Boleh lah belajar pada style orang-orang pengunjung warung kopi.

Penulis: Abbas Langaji 

Apa Reaksi Anda?

like

dislike

love

funny

angry

sad

wow