Dari Shannon-Weaver ke Dakwah bil Hikmah: Rekonstruksi Teori Komunikasi Berdasarkan Nilai Islam

Dari Shannon-Weaver ke Dakwah bil Hikmah: Rekonstruksi Teori Komunikasi Berdasarkan Nilai Islam

Rekonstruksi teori komunikasi tidak hanya menambah kerangka akademik, tetapi juga membentuk praktik komunikasi yang lebih manusiawi, fleksibel, dan bermanfaat bagi individu maupun masyarakat luas. Ilustrasi : cahayaislam.id.

Perspektif | hijaupopuler.id
Komunikasi merupakan aspek fundamental dalam interaksi manusia, baik untuk menyampaikan informasi maupun membangun relasi sosial. Teori komunikasi klasik, seperti model Shannon-Weaver, telah lama menjadi rujukan utama dalam memahami proses komunikasi secara linear sumber pesan, pengirim, saluran, penerima, hingga adanya kemungkinan gangguan atau noise.
Meski efektif dalam konteks teknis, model ini memiliki keterbatasan ketika diaplikasikan pada komunikasi yang sarat makna, nilai, dan etika, terutama dalam konteks kehidupan spiritual.
Shannon dan Weaver memandang komunikasi dari perspektif matematis dan teknis. Tujuan utama komunikasi adalah transfer pesan yang akurat dari pengirim ke penerima.
Gangguan dianggap sebagai halangan mekanis yang harus diminimalisasi. Model ini unggul dalam menyederhanakan proses komunikasi dan mempermudah analisis, tetapi cenderung mengabaikan aspek moral, emosional, dan nilai kultural yang esensial dalam komunikasi manusia.
Di dalam Alquran, komunikasi dipandang lebih dari sekadar transfer informasi. Setiap pesan, baik lisan maupun nonverbal, harus sarat hikmah, kejujuran, dan niat baik.
Konsep Dakwah bil Hikmah menekankan komunikasi yang membimbing, mengedukasi, dan membangun kesadaran tanpa menimbulkan tekanan atau manipulasi. Pesan bukan hanya untuk diterima, tetapi juga untuk memberi manfaat dan membentuk karakter penerima.
Perbedaan fundamental antara model klasik Barat dan komunikasi Islami terletak pada dimensi nilai. Shannon-Weaver berfokus pada efisiensi penyampaian, sedangkan komunikasi Qurani menekankan etika dan tujuan moral.
Misalnya ketika Alquran menyarankan komunikasi yang lembut, menghindari pertengkaran, dan menghargai pendengar. Di sini, noise atau gangguan bukan hanya gangguan teknis, tetapi juga bisa berupa sikap negatif pengirim, niat buruk, atau ketidaktahuan penerima terhadap konteks pesan.
Rekonstruksi teori komunikasi berdasarkan nilai Islam memerlukan penggabungan prinsip teknis dan moral. Efektivitas komunikasi tidak hanya diukur dari akurasi pesan, tetapi juga dari dampak positifnya terhadap penerima.
Konsep ini lalu mendorong pengirim pesan untuk selalu mempertimbangkan tujuan, cara, dan efek komunikasinya, sehingga pesan yang disampaikan menjadi sarana dakwah yang bijaksana dan membangun.
Dalam praktiknya, Dakwah bil Hikmah menggunakan pendekatan interaktif yang lebih fleksibel dibanding model linear klasik. Pengirim dan penerima saling berinteraksi dalam suasana saling menghargai.
Misalnya, ketika Rasulullah saw menyampaikan wahyu, ia tidak sekadar menyampaikan informasi, tetapi juga menyesuaikan bahasa, konteks, dan cara penyampaian agar diterima dengan baik oleh beragam khalayak.
Konsep komunikasi Islami juga mengintegrasikan unsur spiritual dan reflektif. Penerima pesan diajak untuk merenung, memahami, dan menginternalisasi nilai yang disampaikan, bukan sekadar menanggapi secara mekanis.
Hal ini menunjukkan bahwa komunikasi bukan aktivitas searah semata, melainkan proses transformasi nilai dan pengetahuan yang berdampak jangka panjang.
Perbandingan kedua pendekatan menunjukkan bahwa teori Barat unggul dalam presisi dan struktur, sedangkan konsep Islami unggul dalam aspek moral, fleksibilitas, dan relevansi konteks. Dengan menggabungkan keduanya, komunikasi modern dapat menjadi lebih holistik tetap efisien secara teknis, namun kaya nilai dan tujuan.
Rekonstruksi seperti ini tidak hanya relevan bagi dunia dakwah, tetapi juga untuk komunikasi profesional, pendidikan, dan media modern. Misalnya, dalam penyampaian kampanye sosial atau pendidikan, prinsip Dakwah bil Hikmah dapat menekankan pesan yang persuasif namun etis, mengedepankan empati, dan menghindari manipulasi emosional yang berlebihan.
Sehingga dari Shannon-Weaver ke Dakwah Bil Hikmah, kita belajar bahwa komunikasi yang efektif harus menggabungkan aspek teknis dan moral. Nilai Islam menawarkan paradigma komunikasi yang mengedepankan hikmah, etika, dan tujuan positif.
Dengan demikian, rekonstruksi teori komunikasi tidak hanya menambah kerangka akademik, tetapi juga membentuk praktik komunikasi yang lebih manusiawi, fleksibel, dan bermanfaat bagi individu maupun masyarakat luas.
Untuk menerapkan rekonstruksi komunikasi ini secara nyata, diperlukan strategi yang sistematis. Solusinya meliputi pendidikan komunikasi berbasis nilai, pelatihan Dakwah bil Hikmah bagi praktisi media dan pendidik, serta integrasi prinsip etika dan hikmah dalam penyusunan pesan di berbagai platform.
Misalnya lagi, institusi pendidikan dapat mengajarkan keterampilan komunikasi yang tidak hanya menekankan kejelasan pesan, tetapi juga empati, niat baik, dan kesadaran konteks.
Di ranah media dan sosial, praktik ini dapat diwujudkan dengan penyusunan konten yang informatif sekaligus inspiratif, menghindari provokasi dan manipulasi, serta mendorong interaksi yang saling menghargai antara pengirim dan penerima.
Dengan pendekatan seperti itu, komunikasi modern dapat tetap efektif, namun juga membawa dampak moral dan sosial yang positif sesuai prinsip Islam.
Nurhidayat Alipa | Mahasiswi Prodi KPI FUAD UIN Palopo

Apa Reaksi Anda?

like

dislike

love

funny

angry

sad

wow