Ketika Buruh Ditinggalkan dan Mesin Dipuja: AI, PHK dan Kapitalisme Tanpa Akhlak

Ketika Buruh Ditinggalkan dan Mesin Dipuja: AI, PHK dan Kapitalisme Tanpa Akhlak

Keadilan adalah panglima dalam ekonomi. Dan jika manusia dikorbankan atas nama efisiensi, maka sesungguhnya kita sedang menciptakan peradaban yang pincang.

Opini | hijaupopuler.id

Hari ini, di ruang-ruang redaksi yang dulu hidup dengan suara wartawan, editor, teknisi dan pembaca berita, kini hening tergantikan suara sintetik dari mesin yang tak pernah lelah, tak pernah menuntut upah, dan tak pernah mengeluh. Gelombang PHK di industri pertelevisian bukan sekadar imbas dari disrupsi teknologi, tetapi adalah tanda dari pergeseran ideologi ekonomi—di mana kapital dijunjung tinggi, dan manusia disingkirkan secara halus oleh sistem yang tak lagi berperikemanusiaan.

Kecerdasan buatan kini tidak hanya membantu, tetapi menggantikan. AI mampu membaca berita, menulis naskah, menyunting video, bahkan menghasilkan konten digital secara otomatis. Platform streaming dan media sosial yang berbasis algoritma menjanjikan jangkauan lebih luas dengan biaya lebih rendah dibandingkan TV konvensional. Maka, manajemen pun tergoda: efisiensi ditarik ke ekstrem dan PHK menjadi jawaban.

Ekonomi Islam menolak arus ini jika ia melanggar asas adl (keadilan) dan rahmah (kasih sayang). Dalam ekonomi Islam, kerja manusia adalah ibadah, bukan sekadar faktor produksi yang bisa digantikan kapan saja demi efisiensi. ‘Amal bukan mesin. Ketika pekerja—yang selama ini menjadi ruh dari media—dihilangkan hanya karena mesin bisa menggantikannya secara teknis, maka yang hilang bukan hanya suara manusia, tetapi juga jiwa sosial dari media itu sendiri.

Dalam narasi maqasid al-syari’ah, tugas ekonomi bukan hanya mencetak laba, tapi memelihara jiwa, menjaga akal, dan menegakkan martabat manusia. Maka, adopsi teknologi seperti AI harus diletakkan dalam kerangka kemanusiaan yang berkeadilan. Ia boleh membantu, tapi tidak boleh menyingkirkan manusia dari kehidupan. Apalagi ketika PHK dilakukan tanpa transformasi kompetensi, tanpa jaminan keadilan sosial, dan tanpa rencana pemberdayaan ulang.

Fenomena ini memperlihatkan bahwa kita telah terseret jauh oleh logika trickle-down digital, di mana keuntungan menetes hanya pada pemilik platform, investor teknologi, dan pemegang algoritma. Sementara buruh media, yang dulu mengabdi untuk menyuarakan kebenaran, justru didepak dalam senyap. Maka saatnya dikembalikan ke prinsip trickle-up justice dalam ekonomi Islam: ketika keuntungan ekonomi dibangun dari bawah—dari kesejahteraan kerja, partisipasi manusia dan keadilan distribusi.

Ekonomi yang menyingkirkan manusia demi mesin bukanlah kemajuan, tetapi kemunduran yang dibungkus dalam bahasa modernitas. Dan industri media yang mengorbankan pekerjanya demi algoritma tak lagi menyuarakan nurani publik, melainkan hanya menjadi pabrik konten tanpa ruh.

Sebagaimana saya sering tekankan: “Keadilan adalah panglima dalam ekonomi. Dan jika manusia dikorbankan atas nama efisiensi, maka sesungguhnya kita sedang menciptakan peradaban yang pincang—berteknologi tinggi, tapi kehilangan jiwa.”

Dr Adzan Noor Bakri SESy MESy | Dosen, Korpus Abdimas LP2M IAIN Palopo

Apa Reaksi Anda?

like

dislike

love

funny

angry

sad

wow