LGBT, Antara Nilai HAM dan Nilai Sosial-Keagamaan Lokal
Isu LGBT berada di persimpangan jalan antara nilai HAM universal dan nilai sosial-keagamaan lokal. Foto : bskdn.kemendagri.go.id dan penulis.
Opini | hijaupopuler.id
Belakangan ini isu Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender (LGBT) merupakan salah satu perdebatan cukup kompleks dalam wacana kontemporer tentang Hak Asasi Manusia (HAM) dan nilai sosial-keagamaan.
Di satu sisi, prinsip HAM menegaskan bahwa setiap manusia berhak memperoleh perlindungan, pengakuan dan penghormatan tanpa diskriminasi, termasuk berdasarkan orientasi seksual dan identitas gender.
Di sisi lain, norma sosial dan ajaran agama yang hidup di masyarakat, khususnya di Indonesia, memandang LGBT sebagai sesuatu yang bertentangan dengan nilai moral dan budaya. Kontradiksi inilah yang melahirkan perdebatan antara standar HAM universal dengan nilai sosial-keagamaan lokal.
LGBT dalam Persfektif HAM
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM, 1948) secara tegas menyatakan bahwa setiap orang dilahirkan merdeka dan memiliki martabat serta hak yang sama. Prinsip ini dipertegas dalam Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik (ICCPR, 1966) yang menjamin hak atas privasi, kebebasan berekspresi dan perlindungan dari diskriminasi.
Selain itu, Yogyakarta Principles (2006) hadir sebagai dokumen penting yang merumuskan penerapan HAM terkait orientasi seksual dan identitas gender. Dokumen ini menegaskan hak-hak LGBT untuk hidup dengan martabat, memperoleh layanan kesehatan, bebas dari kekerasan, dan menikmati hak sipil-politik secara setara. Dengan demikian, dari perspektif HAM, LGBT merupakan bagian dari warga dunia yang harus dilindungi tanpa diskriminasi.
Nilai Sosial-Keagamaan Lokal
Indonesia dikenal sebagai bangsa yang religius dengan masyarakat yang berpegang teguh pada ajaran agama dan adat istiadat. Dalam perspektif Islam, Kristen, Hindu, maupun agama lain yang dominan, praktik hubungan sejenis dianggap menyimpang dari norma moral dan syariat.
Secara sosial, masyarakat Indonesia masih sangat menjunjung tinggi nilai kekeluargaan, kesopanan, dan harmoni. Orientasi seksual di luar heteroseksualitas sering dipandang mengancam tatanan sosial dan budaya yang sudah mapan. Oleh karena itu, penolakan terhadap LGBT tidak semata-mata bersifat personal, tetapi lebih sebagai bentuk menjaga ketertiban moral dan identitas kolektif bangsa.
Titik Temu dan Titik Tegangan
Pertemuan antara nilai HAM dan nilai keagamaan melahirkan dua sisi berbeda.
Titik temu: prinsip HAM dan nilai agama sama-sama menolak kekerasan, diskriminasi, dan perlakuan tidak manusiawi. Kedua sistem nilai ini dapat bertemu pada gagasan bahwa LGBT tetap manusia yang memiliki martabat dan karenanya tidak boleh menjadi korban persekusi.
Titik tegangan: perbedaan mencolok muncul pada legitimasi orientasi seksual itu sendiri. HAM menekankan kebebasan individu untuk menentukan identitas seksual, sedangkan nilai sosial-keagamaan memandang kebebasan tersebut harus dibatasi oleh norma moral dan syariat. Inilah sumber utama benturan antara keduanya.
Konteks Indonesia
Di Indonesia, konstitusi menjamin hak dasar setiap warga negara, tetapi belum ada regulasi khusus yang melindungi LGBT dari diskriminasi. Beberapa peraturan perundang-undangan justru masih membuka ruang kriminalisasi, terutama di daerah yang memiliki Perda Syariah. Mahkamah Konstitusi pernah menolak perluasan pasal zina untuk mengkriminalisasi LGBT, tetapi tekanan sosial dan politik berbasis moral keagamaan tetap kuat.
Masyarakat Indonesia yang berlandaskan Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika sebenarnya memiliki potensi untuk mengembangkan toleransi dan penghormatan pada martabat setiap individu. Namun praktiknya, stigma dan diskriminasi terhadap LGBT masih sering terjadi di ruang publik maupun kebijakan negara.
Upaya Rekonsiliasi
Untuk menjembatani pertentangan tersebut, diperlukan pendekatan yang antara laian menekankan; Perlindungan hak dasar: LGBT berhak atas hak hidup, kesehatan, pendidikan, dan bebas dari kekerasan. Hak-hak ini tidak boleh dinegosiasikan meskipun terdapat perbedaan pandangan moral.
Yang kedua, dialog lintas nilai: perlu ruang dialog antara aktivis HAM, tokoh agama, dan masyarakat sipil untuk menemukan kesepahaman bahwa melindungi LGBT dari diskriminasi bukan berarti melegitimasi praktik yang dianggap bertentangan dengan agama.
Ketiga, pendidikan masyarakat: edukasi publik sangat penting untuk membangun kesadaran bahwa penghormatan martabat manusia tidak harus identik dengan persetujuan penuh terhadap perilaku tertentu.
Kesimpulan
Isu LGBT berada di persimpangan jalan antara nilai HAM universal dan nilai sosial-keagamaan lokal. HAM menekankan penghormatan terhadap kebebasan dan martabat individu, sedangkan nilai sosial-keagamaan menekankan moralitas dan ketertiban kolektif.
Indonesia sebagai negara yang religius sekaligus demokratis dihadapkan pada tantangan untuk mencari titik keseimbangan. Jalan tengah dapat diupayakan dengan melindungi hak dasar LGBT sebagai manusia tanpa harus mengabaikan nilai moral-keagamaan yang hidup di masyarakat. Dengan demikian, dialog yang inklusif dan saling menghormati dapat menjadi fondasi menuju masyarakat yang adil, beradab dan berkeadilan.
Muh Akbar SH MH | Dosen Hukum Pidana pada Fakultas Syariah UIN Palopo, aktif menulis opini dan kajian tentang hukum, etika profesi, dan reformasi institusi penegak hukum. Email: muh.akbar@iainpalopo.ac.id.
Apa Reaksi Anda?
